Desain Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah tampak sempurna sebagai
pengejawantahan tujuan pendidikan nasional. Yonky Karman mengkalimatkan
visi pendidikan nasional secara sederhana sebagai: visi menghasilkan
SDM bermutu, berkarakter (cerdas secara
intelektual-emosional-spiritual), mandiri, kreatif, kritis, peduli
dengan persoalan sekitar. Sayangnya,
para pendidik lebih tergoda, atau mungkin terjebak, untuk menyelesaikan
materi ajar sesuai dengan ‘tuntutan kurikulum’ – sekedar memenuhi
tuntutan silabus – karena Ujian Nasional (UN) menanti dan ‘mengancam’ di
ujung jenjang pendidikan.
Praktek
pendidikan mengalami distorsi menjadi tak lain sekedar kegiatan
mengajar dan melatih demi lulusnya anak didik ujian penghabisan, Ujian
Nasional itu. Guru menjadi hamba atas kurikulum. Pendidik ‘semakin abai’
makna filosofis edukasi, educere (bahasa Latin),
menarik keluar potensi (anak didik). Padahal sejatinya tak seorang pun
dilhahirkan bodoh sehingga perlu dicerdaskan seperti kata John Holt
(1927-1985). Tapi mereka hanya perlu dididik supaya tidak memperbodoh
diri sendiri. Siswa bukan wadah kosong yang pasif yang perlu diisi, tapi
bara yang perlu dijaga panasnya, atau ditiup supaya lidah apinya
menyembul.
Uraian berikut adalah beberapa hal (tentunya masih banyak hal penting lainnya) yang saya rasa perlu dishare-kan
kepada pelajar sesuai dengan perkembangan dan kapasitas mereka supaya
“lidah api mereka menyembul”. Tapi (sebagian) hal-hal ini begitu sering
terlewatkan atau terlupa oleh pendidik. Inilah yang saya maksudkan:
Menjadi Diri Sendiri
Anak didik, termasuk
juga orang dewasa, terlebih dahulu harus memahami dirinya, barulah
memahami apa yang harus dilakukannya. Pelajar perlu mengenal apa yang
menjadi kelebihan dan apa yang menjadi kekurangan. Apa yang menjadi
tantangan dan apa pula yang menjadi penghambat. Jadi ada semacam SWOT
diri sendiri. (Strength, Weakness, Oppurtunity, and Treatment).
Pelajar perlu dididik
supaya ketika akan memilih program studi di Kelas XI Sekolah Menengah
Atas (SMA) bukan semata-mata karena ikut teman sehingga memilih program
IPA, IPS atau Bahasa. Atau sebelumnya ketika masih duduk di bangku
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan kemudian di persimpangan antara
memilih ke SMA atau SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dan kemudian,
ketika akan melanjut ke perguruan tinggi, memilih jurusan yang memang
dirinya. Pelajar perlu tahu apa yang menjadi bakat, minat dan kemampuan.
Memilih jurusan atau perguruan bukan untuk gagah-gagahan, bukan juga
ikut-ikutan, dan bukan juga asal-asalan, asal-lah masuk. Hal-hal ‘bodoh’
inilah yang perlu diarahkan pendidik.
Janganlah pula orang
tua atau guru membuat anak menjadi yang bukan diri mereka. Kegagalan
siswa dapat juga terjadi oleh karena mereka justru terlalu mendengarkan
saran atau harapan orang tua mereka. Sebenarnya inginnya si anak berbeda
dengan inginnya orang dewasa, demi rasa hormat, anak terpaksa memilih
sekolah, memilih program studi, memilih jurusan untuk memuaskan orang
tua atau guru. Anak berbakat dalam seni, tapi orang tua, mau juga guru,
‘memaksakan’ akuntasi atau Teknik. Orang tua merasa menjadi seniman
tidak begitu menjamin. Guru merasa jurusan teknik lebih diperhitungkan
ketimbang seni.
Bagi para pelajar yang
tengah duduk di bangku kuliah, supaya menguasai latar belakang
keilmuannya. Janganlah pula, duduk di fakultas pertanian tapi mengimpi
bekerja atau dipekerjakan di Bank. Sehingga kuliah pun asal tamat.
Katakanlah alumni SMA saya dan yang juga alumni dari salah satu
institute pertanian terbesar di negeri ini. Lebih banyak di antara
mereka yang bekerja sebagai pegawai Bank atau perusahaan daripada yang
bekerja sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Dan tidak ada yang
tinggal di daerah kami untuk mengoptimalkan potensi agraria daerahnya.
Tidakkah ada yang tertantang untuk memajukan pertanian, dan dengan
demikian mengangkat kualitas hidup petani di kampung kami ini?
Menguasai Bahasa Inggris
Kecakapan dalam
berbahasa Inggris memberikan banyak kemudahan, membuka peluang dan
memberikan nilai lebih. Banyak literature dalam bahasa Inggris yang
demikian berkualitas. Beasiswa ke luar negeri selalu memberikan syarat
kecakapan bahasa Inggris. Lihatlah lowongan-lowongan pekerjaan yang
bertabur di koran. Barang-barang elektronik. Obat-obatan dan sebagainya
pun banyak dengan mensyaratkan bahasa Inggris.
Para pelajar sejak
dini perlu dididik untuk mencintai bahasa Inggris. Kelak akan sangat
berguna. Dan juga untuk kepentingan masa depan. Tapi, jangan sampai
terjebak. Mendewa-dewakan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia ditinggalkan.
Bahasa ibu sekalipun tak kurang pentingnya! Tak seorang pun bisa begitu
mengenal suatu bangsa tanpa tidak mengenal bahasanya.
Ada juga orang yang
merasa bahwa bahasa Inggris itu lebih dalam dari bahasa Indonesia.
Komentar yang menggelikan. Bukan sekedar alasan nasionalisme, Bahasa
Indonesia tak kurang dalam, tak kalah hebatnya dalam bahasa Inggris
dalam memberikan makna. Orang-orang yang beranggapan demikian saya rasa
orang yang belum begitu memahami kesusasteraan negerinya.
Saya sendiri sekalipun
tidak berlatar belakang pendidikan dalam sastra atau bahasa Inggris,
dan juga tidak bekerja sebagai guru bahasa Inggris, tidak jarang untuk
sekedar mengingatkan siswa saya supaya meningkatkan kecakapan bahasa
Inggris.
Cakap dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi
Teknologi dan/atau
Informasi adalah kekuasaan. Ini jugalah yang membuat mata pelajaran
Tikom (Teknologi Informasi dan Komunikasi) diajarkan. Perkembangan
teknologi informasi demikian hebatnya. Siapa yang tidak bisa
menggunakannya akan tergerus oleh zaman. Akan tersisih.
Para pelajar harus
senantiasa mengikuti perkembangan teknologi yang melesat tinggi ini.
Dibutuhkan kecakapan untuk mencari, memilih dan memilah (jenis)
informasi yang mengalir deras. Teknologi Informasi dan Komunikasi dapat
dijadikan iklim yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya potensi para
pelajar.
Kecakapan Statistis
Suatu kecenderungan
untuk mengukur segala sesuatunya dengan angka-angka. Survei dan
pengolahan data penelitian selalu membutuhkan statistika. Demikian juga
dalam memahami data-data, apalagi data yang terpampang dalam angka-angka
(data kuantitatif), membutuhkan kemampuan statistis untuk menafsir dan
menyimpulkan secara logis.
Mulai jurnal ilmiah,
laporan perusahaan, administrasi perkantoran, sampai jurusa jurnalistik
sarat dengan data statistis. Dan, sangat gampang berbohong atau menipu
melalui statistika. Jadi supaya tidak gampang dibodoh-bodohi lewat
statistika, maka kecakapan statistis ini wajib dimiliki para pelajar.
Kecakapan ini akan menelanjangi kebohongan para penjahat intelektual
yang mempermainkan data-data.
Kecakapan Politis
Inilah salah satu
kecakapan yang paling sering tidak mendapat perhatian di bangku sekolah.
Bahkan politik sering diidentikkan dengan sesuatu yang busuk. Atau
suatu paradigma bahwa politik sesuatu yang bukan untuk kita. Rekan guru
sendiri pun tak sedikit yang alergi membicarakan politik. Kebijaksanaan
diartikan sebagai kepicikan, curang dan keserakahan. Politik kehilangan
makna sejatinya. Padahal politik itu mewadahi kita. Ada di dalam dan di
sekitar kita. Tapi memang politik dalam kuadran yang lebih spesifik,
dalam ke-tatanegara-an begitu kompleks. Pandangan politik suatu
bangsalah menjadi titik kulminasi semua kebijakan pemerintahannya.
Para pelajar sejak
dini sudah harus dididik apa sejatinya politik itu? Apa hakikat politik
itu? Kelak ketika pelajar itu menjadi betul-betul menjadi seorang
terpelajar tidak sekedar alat penguasa semata. Syukur-syukur kalau
penguasa yang memakainya tidak lalim. Pelajar dan kaum terpelajar sebisa
mungkin harus menyadari dan mengikuti perkembangan arus politik apa
yang mengalir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar