1. Rene Descartes
Filsuf yang membuka cakrawala abad
modern adalah Rene Descartes sehingga ia layak mendapat gelar ‘bapak
filsafat modern’. Descartes menyatakan bahwa dalam bidang ilmiah tidak
ada sesuatupun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan tidak
terkecuali filsafat dan ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu
berkembang, terkecuali ilmu pasti yang merupakan hasil dari rasio.
Descartes berpangkal dari keragu-raguan
untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Namun karagu-raguan disini
bersifat metodis dan bukannya skiptisme mutlak, yaitu keragu-raguan
sebagai suatu pandangan. Menurut Descartes yang dipandang sebagai
pengetahuan yang benar-benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah,
artinya bahwa gagasan-gagasan atau ide-ide itu seharusnya dapat
dibedakan dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain.untuk mencapai
kebenaran pengetahuan yang kedap dengan keragu-raguan tahapan metodenya
sebagai berikut:
- Bertolak dari keragu-raguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Konsekuensinya kita harus menghindarkan diri dari sikap tergesa-gesa dan prasangka. Adapun dalam keputusan-keputusan hanya menerima sesuatu yang dihadirkan pada akal dengan sedemikian jelas dan tegas sehingga mustahil untuk disanksikan.
- Semua bahan dan persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagian, manakala kiranya perlu untuk pemecahan yang memadai.
- Sistematik pikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman objek dari yang paling sederhana dan mudah, berangsur-angsur sampai pada pengertian yang lebih kompleks .
- Akhirnya sampailah pada tinjauan permasalahan yang bersifat universal , sehingga ditemukan suatu kepastian. Maka dengan demikian tiada lagi keraguan.
Hanya ada satu hal yang tidak dapat
diragukan manurut Descartes yaitu bahwa ‘cogito ergo sum’ ‘aku berpikir
oleh karena itu aku ada’.
2. Thomas Hobbes
Thomas Hobbes adalah filsuf pertama
Inggris yang mengembangkan aliran empirisme. Thomas Hobbes termasuk
filsuf yang unik dan kreatif yaitu menyatukan pandangan empirisme dengan
rasionalisme dalam suatu system filsafat materialis.
Walaupun tidak secara langsung pengaruh
Hobbes terhadap berkembangnya filsafat bahasa, namun demikian sebenarnya
berdasarkan ajaran-ajaran yang dikembangkannya terdapat tiga hal yang
mempengaruhi berkembangya filsafat bahasa terutama filsafat analitika
bahasa. Pertama, ajaran emperisme Hobbes memberikan warna bagi
berkembangnya paham-paham filsafat analitika bahasa. Kedua, menurut
Hobbes fakata-fakta itu diungkapkan dengan menggunakan bahasa sebagai
instrumennya. Ketiga, empirisme Hobbes membrikan warna bagi pennetuan
system logika bahasa filsafat analitik.
- 3. John Locke
Pemikiran empirisme John Locke merupakan
sintesis rasionalisme Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes.
Walaupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, namun ia
menentang pokok-pokok ajaran pokok Descartes.. menurut Locke segala
npengetahuan dating dari pengalaman dan tidak lebih dari itu.
Locke tidak membedakan antara pengethuan
inderawi dan pengetahuan akal. Satu-satunya sasaran atau objek
pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena
pengalaman-pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah
(reflection).
4. George Berkeley
Berkeley dalam konsep-konsep pemikiran
filosofisnya sebenranya meneruskan tradisi locke namun dalam kesimpulan
serta dasar-dasar metefisikanya berbeda. Berdasarkan cirri
rmetafisikanya pemikiran Berkerley ini bermuara pada aliran idealism,
karena ia menyangkal adanya suatu dunia yang ada di luar kita.
Titik tolak pemikiran Berkely terdapat
pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurutnya segala
pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik
dengan gagasan yang diamati. Pengamatan bukan terjadi karena hubungan
antara subjek yang diamati degan objek yang diamati, melainkan hubungan
antara pengamatan indera yang satu dengan pengamatan indera yang lain.
Kajian Filsafat tentang Bahasa Pada Zaman Modern
5. David Hume
Dalam sejarah filsafat Inggris, tradisi
pemikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal adalah pemikiran
David Hume. Menurut Hume bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan
dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan
memberikan dua hal, yaitu kesan-kesaan atau ‘impression’ dan
pengertian-pengertian atau ide-ide yang disebut ‘ideas’. Yang dimaksud
dengan kesan-kesan adalah pengamatan langsung ynag diterima dari
pengalaman, baik pengalaman lahiriah amaupun batiniah, yang menampakkan
diri dengan jelas hidup dan kuat. Menurut Hume yang dimaksud dengan
pengertian atau ide adalah gambaran tentang pengalaman yang redup
samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau
merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari
pengalaman manusia.
6. Immanuel Kant
Pemikiran Kant dikenal dengan paham
‘kritisisme’. Menurutnya kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemamapuan dan
batas-batas rasio. Kant adalah filsuf pertama yang mengembangkan
penyelidikan ini, karena menurut pendapatnya filsuf-filsuf sebelumnya
adalah bersifat dogmatisme, karena mereka hanya percaya secara
mentah-mentah pada kemempuan rasio tanpa menyelidiki terlebih dahulu.
Kritis atas Rasio Murni
Kritisme Kant sebagai suatu usaha
raksasa untuk menjembatangi rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme
mementingkan unsur apriori dalam pengenalan, yang berarti unsur-unsur
yang terlepas dari segala pengalaman misalnya ‘ide-ide bawaan’.
Sedangakn empirisme menekankan unsur-unsur aposteriorinya, berarti hanya
unsur-unsur yang bearasal dari pengalaman sebagaimana dikemukakan Locke
dan Hume.
a. Pada taraf indra
Pengenalan merupakan sintesis antar
unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan
bentuk dan unsur aposteriori memainkan peranan materi. Menurut kant,
unsur apriori sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa
dalam pengenalan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan
waktu.
b. Pada taraf akal budi
Kant membedakan akal budi (verstand)
dengan rasio (vernunft). Tugas akal budi adalah menciptakan orde antara
data-data inderawi dengan lain akal budi menentukan putusan. Pengenlan
budi merrupakan sintesis antara bentuk dan materi. Menurut Kant
terdapat empat kategori sebagai berikut:
- Kategori Kuantitas, terdiri atas: singular (satuan) partikuler (sebagian), dan universal (umum)
- Kategori kualitas, terdiri atas: realitas (kenyataan), negasi (peengingkaran), limitasi (batas-batas).
- Kategori relasi, terdiri atas: categories (tidak bersyaarat), hypothetis (sebab dan akibat), disjunctif ( saling meniadakan).
- Kategori modalitas, terdiri atas: mungkin/tidak, ada/tiada, kepeluan/kebutuhan.
c. Pada taraf rasio
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan
dari putusan0putusan. Dengan lain perkataan, rasio memgadakan
argumentasi-argumentasi, seperti halnya akal budi menggabungkan
data-data inderawi dengan mengadakan putusan-putusan. Kant
memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan
dipimpin oleh tiga ide yaitu jiwa, dunia, dan Allah.
Kritik atas rasio Praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu
pengetahuan, sehingga rasio disebut ‘rasio teoritis’ atau menurut
istilah Kant disebut ‘rasio murni’. Tetapi disamping itu terdapat juga
‘rasio praktis’, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita
lakukan, atau dengan kata lain perkataan rasio yang memberikan perintah
kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan
perintah yang mutlak ( imperatif kategoris).
7. Positivisme Agugust Comte
Pada abad ke-19 timbullah aliran
filsafat yanag menandai semakin berkembangnya ilmu pengetahuan modern.
Aliran itu terkenal dengan nama ‘positivisme’, yang secara etimologis
berasal dari kata ‘positif’ yang secara harfiah berarti yang diketahui,
yang faktual empiris bahkan dapat juga berarti teruji atau teramati.
Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang
telah diketahui, yang faktual atau posititif.
Ajaran Comte yang paling terkenal adalah
tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan
maupun umat manusia sebagai keseluruhan. Bagi Comte perkembangan menurut
tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap.
Ketiga zaman tersebut meliputi:
1. Zaman teologis
Pada zaman teologis percaya bahwa di
balik gejala-gejala alam terdapat adikodrati yang mengatur fungsi dan
gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis sendiri dibagi atas tiga
periode yaitu: taraf yang paling primitif (animisme), manusia percaya
kepada dewa-dewa (politeisme), dan monoteisme
2. Zaman metafisis
Dalam zaman ini kuasa-kuasa adikodrati
diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak , seperti
misalnya ‘kodrat’ dan ‘penyebab’ . konsep-konsep metafisika seperti
substansi , aksidensia, dan lain sebagainya menjadi penting pada zaman
ini.
3. Zaman positif
Pada zaman ini sudah tidak lagi
penyebab- penyebab yang tewrdapat di belakang fakta-fakta. Manusia
membatasi diri pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Pemikiran
positivisme ini memberikan dasar pijak bagi paham filsafat analitik
terutama kelompok Wina atau Kring Wina yang menamakan dirinya paham
positivisme logis. Seluruh pandangan positivisme diangkat oleh
positivisme logis, hanya perbedaannya positivisme logis menekankan pada
analisis konsep filosofis melalui bahasa serta posivisme logis lebih
menekankan pada prinsip perivikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar