Anak muda dari Tangier
ini merelakan hidupnya pada hembusan angin yang membawanya kemana pun
ia singgah. Napak tilas perjalanannya menempatkannya sebagai penjelajah
dunia terbesar yang dimiliki peradaban Islam dan dunia. Ia bernama Ibnu Battuta.
Di pagi hari yang dingin, bertahun 1349,
seorang pria Arab berkuda lambat menuju gerbang kota Tangier di pantai
Afrika Utara. Bagi Ibnu Battuta, ini adalah akhir dari perjalanan
jauhnya. Ketika ia meninggalkan rumahnya di Tangier, dua puluh empat
tahun yang lalu, ia tidak pernah merencanakan sebuah perjalanan
sedemikian jauh dan lamanya. Dari kejauhan, matanya menyusuri lekuk
putih atap-atap rumah dan kubah masjid yang berlatarkan laut Atlantik.
Ia mencoba menyusuri kembali ingatannya akan wajah kota yang telah ia
tinggalkan selama hampir seperapat abad lamanya.
Kilas balik berawal di tahun 1325. Ketika
itu ia hanyalah seorang anak muda berusia 21 tahun, enggan meninggalkan
orang tuanya untuk melakukan ibadah haji pertamanya di kota Mekkah,
sekitar 3.000 mil ke arah timur. Ia lalui jarak sejauh 3000 mil
tersebut, bahkan berlanjut pada perjalanan panjang lainnya sejauh 72.000
mil! Biasanya peziarah haji pasti akan langsung pulang ke kampung
halaman mereka masing-masing. Apalagi saat itu tak lazim bagi siapapun
pergi dari rumahnya untuk kurun waktu yang sangat lama.
Ketika Ibnu Battuta memulai
penjelajahannya, barulah 125 tahun kemudian para penjelajah Eropa
seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama dan Magellan mulai berlayar.
Tak heran ketika saat ia pulang ke kampung halamannya, kedua orang
tuanya telah wafat tanpa kehadirannya. Namanya sendiri, dimata khalayak
ramai telah terkenal sebagai penjelajah abad ini sesampainya di Tangier.
Penjelajah bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al-Tanji
ini lahir di kota Tangiers, Maroko pada 24 Februari 1304. Dibesarkan
dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam, Ibnu Battutah justru
membenamkan diri pada ilmu-ilmu fikih dan sastra Arab. Keilmuan yang
mendukungnya untuk sebuah penjelajahan seperti astronomi ataupun
kelautan lainnya, bisa dikatakan tidak ada sama sekali.
Setiap penjelajah pasti memiliki alasan
untuk berkelana menembus samudera dan daratan luas. Marco Polo adalah
seorang pedagang dan Columbus sejatinya seorang petualang. Ibnu Battuta
justru seorang teologis, sastrawan puisi dan cendekiawan, serta humanis.
Perjalanan haji pertamanya justru mendorongnya untuk memahami begitu
luasnya dunia ciptaan-Nya. Hatinya tergerak untuk memulai sebuah
penjelajahan terbesar yang ada saat itu.
Sejarawan Barat, George Sarton, mengagumi
jarak sejauh 72.000 mil melalui lautan dan daratan yang dilakukan Ibnu
Battuta. Jarak ini jauh lebih panjang dari yang dilakukan Marco Polo dan
penjelajah manapun sebelum datangnya teknologi mesin uap. Ahli sejarah
lainnya seperti Brockellman menyejajarkan namanya dengan Marcopolo,
Hsien Tsieng, Drake dan Magellan.
Seluruh kisah perjalanannya dikisahkan kembali oleh Ibnu Battuta dan ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah al Nuzzar fi Ghara’ib al Amsar wa Ajaib al Asfar(Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan Mengagumkan).
Perjalanan Penuh Kisah. Ibn Battuta jelas
merupakan penjelajah yang luar biasa. Perjalanan yang ditempuhnya
meliputi Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, Cina dan negara muslim
lainnya. Ia selalu mendeskripsikan kondisi spiritual, politik dan sosial
dari setiap negeri yang disinggahinya. Ia berhasil merekam seperti apa
wajah peradaban Timur Tengah pada abad pertengahan.
Nyatanya, ia satu-satunya penjelajah
besar yang mengilustrasikan tiap tempat yang dikunjunginya dengan irama
berpuisi. Sentuhan sastranya bisa dirasakan lewat deksripsinya mengenai
kota Kairo pada tahun 1326; “aku bertamu di Kairo, ibunda dari kota-kota
dan kursi Fir’aun sang tirani, sang nyonya empunya wilayah luas nan
subur, bangunan-bangunan tak ada batasnya, tak tertandingi akan
kecantikan dan keanggunannya, tempat bertemu para pendatang dan pulang,
tempat perhentian yang lemah dan kuat, dimana berbondong-bondong manusia
menyerbu laiknya gelombang laut, dan semuanya tertampung dalam ukuran
dan kapasitasnya”.
Perjalanan perdana Ibnu Battuta dimulai
ketika menunaikan ibadah hajinya yang pertama, tepat pada tanggal 14
Juni 1325. Ia bersama jamaah Tangiers lainnya menempuh keringnya hawa
laut Mediterania di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara.
Semuanya dilakukan hanya dengan berjalan kaki.
Kota Alexandria menjadi kota pertama yang
disinggahinya. Tak lama ia mampir ke Kairo untuk memulai perjalanan
menuju Mekkah. Dari Kairo, Ibnu Battuta melewati rute yang melalui kota
Yerusalem, Aleppo dan Damaskus, bersama karavan rombongan haji menuju
Mekkah. Rombongan ini terdiri dari kaum Muslim, kaya dan miskin,
terpelajar dan biasa saja, tentara, pedagang dan cendekiawan. Semuanya
pergi bersama-sama tanpa ada yang membanggakan status sosialnya.
Di setiap kota sepanjang perjalanan,
mereka selalu dijamu, tempat berteduh dan keramahtamahan penduduk kota.
Kebaikan terhadap tamu Allah SWT yang telah mentradisi dalam masyarakat
Muslim Arab, memudahkan bagi Ibnu Battuta, untuk menempuh perjalanan
dengan bekal uang seadanya.
Ia tiba di Mekkah pada bulan Oktober
1326. Selama di kota suci, ia bertemu dengan jamaah dari berbagai
negeri. Setiap orang yang ditemui Ibnu Battuta selalu menarik
perhatiannya. Hingga, ia memutuskan untuk membatalkan kepulangannya ke
Tangiers dan memulai pengembaraannya menjelajahi dunia.
Pada tahun 1330, Ibnu Battuta memulai
pelayaran pertamanya. Ia baru saja berumur 27 tahun dan telah menjadi
penjelajah yang cukup berpengalaman. Perahu yang dinaikinya adalah
Jalba, satu dari kapal laut melegenda di Laut Merah, terbuat dari
bilahan papan yang diolesi minyak ikan hiu agar anti air.
Ketika itu ia berada di Jeddah, bersiap
untuk embarkasi menuju Yaman dan pelabuhan Gujarati di India. Ia
mendengar penguasa muslim di Delhi butuh orang-orang terpelajar untuk
membantu administrasi kesultanannya. Sahabatnya, Mansur, mengajak Ibnu
Battuta untuk berada diatas Jalba-nya, tetapi ia menolaknya, “berhubung
kapalnya sudah dipenuhi dengan unta-unta, dan sejak aku belum pernah
bepergian di atas laut, hal ini membuatku khawatir”.
Ia tepat untuk merasa khawatir. Baru dua
hari berlayar, arah angin berubah dan kapal kecil ini terombang-ambing
oleh gelombang laut tiada hentinya. Badai kian mendekat, buritan kapal
mulai berdetam keras oleh gelombang laut, para pemunpang termasuk Ibnu
Battuta mengalami mabuk laut. Kapal Jalba akhirnya bersauh di pantai,
namun bukannya di Yaman, melainkan di arah seberangnya yaitu pesisir
pantai Afrika di antara Aydhab dan Suakin.
Para musafir yang terdampar ini menyewa
unta dan memulai perjalanan menuju arah selatan di Suakin. Penguasa
disana adalah Zayd ibn Abi Numayy, anak dari gubernur kota Mekkah, yang
ternyata saudara dari sahabatnya, Mansur. Perjalanan pulang mereka
melewati Laut Merah yang meski rute pendek, bisa sulit sekali karena
angin kerap berubah-ubah.
Ibnu Battuta akhirnya sampai di Ta‘izz,
ibukota Yaman yang dikuasai dinasti Islam Rasuliyah. Dinasti ini terdiri
dari elit militer Turki seperti dinasti Islam lainnya saat itu. Di kota
Aden, ia menyaksikan sebuah kota terbesar dan terkaya yang pernah ada
di pesisir Laut Hindia.
Penjelajahannya berlanjut menuju Somalia,
pantai-pantai Afrika Timur, termasuk Zeila dan Mambasa. Kembali ke
Aden, lalu ke Oman, Hormuz di Persia dan Pulau Dahrain. Di negeri
Persia, Ibnu Battuta berkesempatan bertamu di kota Baghdad. Di kota ini
ia menyaksikan sarana pemandian umum yang tak ada tandingannya di dunia.
Setelah itu, Ibnu Battuta kembali ke kota Mekkah pada tahun 1332.
Menaiki sebuah kapal Genoa, ia berlayar ke kota Alaya di pantai selatan
Asia Kecil.
Usai melakukan perjalanan laut, pada
tahun 1333 Ibnu Battuta melanjutkan pengelanaan lewat darat. Ia jelajahi
stepa-stepa di Rusia Selatan hingga sampai ke istana Sultan Muhammad
Uzbegh Khan di tepi sungai Wolga. Ia melanjutkan penjelajahannya hingga
ke Siberia. Bahkan, ia sempat berniat menuju Kutub Utara, namun batal
karena dingin cuaca daerah “Tanah Gelap”, sebutan wilayah yang tak
pernah ada sinar matahari tersebut.
Pada 12 September 1333, setelah
perjalanan panjang melewati wilayah Iran, Anatolia dan Asia Tengah, Ibn
Battuta akhirnya singgah di tepi sungai Indus, tepi barat India yang
dikuasai oleh Muhammad Shah II, penguasa Islam di Delhi.
Ibn Battuta sudah diberi uang saku oleh
pedagang Irak ketika ia transit di kota Tikrit dan membawa 30 ekor kuda
dan unta penuh dengan senjata panah untuk Sultan. Hadiah ini ternyata
diterima Sultan Muhammad Shah II untuk keperluan kampanye militernya.
Ibnu Battuta dihadiahi posisi sebagai Qadi di Delhi dengan gaji bulanan
12.000 dirham, dua rumah tinggal dan bonus 12.000 dinar. Hanya semalam
saja, anak Tangiers ini berubah menjadi orang kaya mendadak.
Dua tahun kemudian, kekacauan mulai
merebak di banyak wilayah. Tujuh tahun kemudian, pemberontakan mulai
merebak dimana-mana. Ibnu Battuta melihat kesultanan Delhi mulai tak
terkendali dan meminta ijin untuk berhaji ke kota Mekkah, satu-satunya
cara halus untuk mundur dari jabatan. Pada menit terakhir, sultan
memintanya untuk memimpin 15 orang perwakilan ke Cina dan beberapa kapal
penuh hadiah kepada kaisar dinasti Yuan, Toghon Temur. Ibnu Battuta
mengambil kesempatan berharga ini sambil memperoleh kesempatan
mengunjungi negeri yang belum ia kunjungi ini.
Rombongan diplomatik ini berangkat pada
akhir musim panas di tahun 1341 menuju pelabuhan Cambay. Namun mereka
diserang dalam perjalanan oleh pemberontak Hindu yang menguasai daerah
pedesaan India. Ibnu Battuta tertangkap, namun berhasil melarikan diri
dan bergabung denga rombongan yang tersisa.
Kunjungannya ke negeri China begitu
berkesan dalam dirinya. China ketika itu dikuasai oleh dinasti Yuan dari
Mongol. Walaupun tidak beragama Muslim, dinasti Yuan sangat bergantung
pada kemampuan pejabat dan penasehat militer Muslim dalam urusan
perdagangan. Ibnu Battuta mencatat, dibawah dinasti ini, para pedagang
Muslim memperoleh keistimewaan di sepanjang sungai-sungai dan
kanal-kanal di seluruh wilayah kekaisaran Cina.
Ia akhirnya bertemu dengan kaisar Cina
yang memiliki armada besar yang dibangun kekaisaran tersebut.
Beruntungnya, Ibnu Battuta mendapat kesempatan menikmati kapal pesiar
milik kaisar menuju kota Peking, ibukota kekaisaran. Meski begitu, walau
ia begitu terpesona dengan kain sutera dan porselennya, China adalah
satu-satunya negeri yang dikunjunginya yang membuat dirinya mengalami
gegar budaya. Tetapi pada saat yang sama ia memuji China sebagai negeri
teraman dan ternyaman di dunia bagi para penjelajah.
Bertamu di Serambi Mekkah. Sebelum
memulai perjalanan ke China, Ibnu Battuta sempat mengunjungi wilayah
Samudera Pasai atau Aceh. Dalam catatannya, ia menulis Samudera Pasai
sebagai negeri yang menghijau dan kota pelabuhannya sebagai kota besar
yang indah. Dalam versi lainnya, ia menyebut pulau Sumatera sebagai “pulau Jawa yang menghijau”. Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan.
Menurut Ibnu Battuta, saat itu Samuder
Pasai merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara. Sultan Mahmud Mallik
Zahir, penguasa Samudera Pasai dimata Ibnu Battuta sebagai seorang
pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya pun sangat
rendah hati dan berangkat ke masjid untuk sholat Jumat dengan berjalan
kaki. Selesai sholat, kata Ibnu Battuta, sang sultan dan rombongan biasa
berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya
Selama 15 hari berada di Samudera Pasai,
barulah ia melanjutkan perjalanan ke China. Penjelajah Arab dari Tangier
ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Ia menuju kota Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1348. Lalu
ia berhenti di kota Damaskus, menjenguk salah satu anaknya yang telah ia
tinggalkan selama 20 tahun. Ternyata ia mengetahui bahwa sang anak
telah wafat mendahuluinya sejak 15 tahun lalu.
Selama ia berada dalam penjelajahan,
epidemik mematikan, The Black Plague sedang menyerang seluruh wilayah
Timur Tengah. Di Kairo, Ibnu Battuta melaporkan korban tewas mencapai
jumlah 21.000 jiwa, data yang turut diamini para sejarawan modern. Ia
melewati kota-kota yang muram akibat wabah tersebut, namun ia selamat
dari infeksi wabah ini.
Ketika ia sampai di Tangier pada tahun
1349, Ibnu Battuta mengetahui ibunya turut menjadi korban wabah The
Black Plaque. Hari-harinya pun diisi dengan mengisahkan kembali
perjalanan jauhnya bersama handai taulan dan teman dekatnya. Tak
beberapa lama, ia mulai berangkat ke Spanyol. Tiga tahun setelahnya, ia
memulai perjalanan terakhirnya, yaitu menuju kota Timbuktu, kota yang
dianggap sebagai legenda oleh bangsa Eropa karena tak ada satupun orang
Eropa yang pernah kesana. Pada tahun 1354, sang penjelajah besar ini di
minta datang ke kota Fez oleh Sultan Abu Enan untuk membukukan kisah
penjelajahan besarnya..
Anehnya, penjelajahan dunia Ibnu Battuta baru diketahui bangsa Barat setelah 300 tahun kemudian. Kitabnya berjudul Rihla (Perjalanan)
ditemukan di Aljazair. Marco Polo mendiktekan pengalaman perjalanan
bersama rekannya ketika berada di sel pada tahun 1296, kopi tulisan dari
kisahnya telah menyebar hingga ke Eropa pada abad ke-15. Jika saja Ibnu
Battuta memperoleh publisitas yang sama, namanya pasti sejajar, bahkan
melebihi Marcopolo sebagai seorang penjelajah dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar