Sabtu, 08 September 2012

Ketika Anak Punk Berpikir Tentang Agama dan Tuhan (1)




 
Foto Berwarna dari kiri ke kanan : Asep, Danang, Otoy Dan Anggi

APA yang Anda ketahui ketika mendengar kata Punk? Seorang pengamen dengan rambut berwarna di lampu merah? Penuh tato dan suka mabuk bahkan jauh dari agama? Pecinta musik yang suka meninggalkan sholat dan mungkin segudang penilaian negatif lainnya.
Namun, suasana di pinggir terminal Pulo Gadung ini terasa jauh berbeda. Sebuah rumah dua tingkat yang 65% bahan bangunannya terbuat dari papan. Ruangan tengah penuh dengan foto-foto dokumentasi. Semua foto itu seakan bercerita bagaimana sejak awal komunitas ini berdiri. Tepat didepan pintu masuk ada sebuah rak lemari berisi tumpukan Al Qur’an. Beberapa peralatan sablon. Suasana merakyat itu semakin lengkap dengan lantunan ‘Ujung Aspal Pondok Gede’ dari Iwan Fals. Dinyayikan bersama-sama dengan gendang rakitan sambil menghitung pendapatan dari mengamen hari ini.
“Ya beginilah anak-anak, siang mengamen mikirin dapet duit, malamnya kita istirahat. Kalau hari Senin wajib untuk ikut pengajian. Biasa bang siraman ruhani cieeeeee.....” Jelas Otoy salah satu anggota komunitas Punk Muslim langsung di soraki teman-temannya penuh canda dan persaudaraan, Senin (03/09/2012).
“Gaya lo Toy..toy” Celetuk seorang rekan Punk Muslim lainnya.
Beberapa orang seperti Anggi, Otoy, Danang dan sekitar 20 anggota Punk Muslim hari ini berkumpul di markas Punk Muslim tersebut. Setengah dari jumlah tersebut baru tiba dari mengamen keliling kota. Tidak berapa lama, Asep salah satu anggota senior tiba dari kampungnya setelah melaksanakan mudik Lebaran.  Hari ini adalah jadwal pengajian mereka disetiap hari senin.
Setelah menunggu dari pukul 19.00WIB, tepat pukul 23.30 WIB acara pengajianpun dimulai. Materi tentang kesesatan Syiah-pun dikupas tuntas oleh sang ustad yang juga merupakan penggerak dakwah di jalanan Jakarta.
Ada yang garuk-garuk kepala, ada yang tertidur karena begitu lelah. Ada juga yang mencatat dan mendengarkan dengan khusyu kajian sang Ustad yang sudah seperti ayah sendiri bagi anak-anak ini.
Inilah sehari-hari mereka. Siang hari mereka disibukkan dengan mencari nafkah. Hampir semua anggota Punk sejak berumur belia tidak biasa meminta uang kepada orangtua mereka. Sejak kecil mereka sudah terbiasa mencari makan sendiri di jalanan yang keras.
Mengamen, menjadi kuli bangunan, berjualan pulsa hingga membuka warung kelontongan secara kolektif (patungan).
“Sebenarnya makan nggak makan asal ngaji bang hahahahah,” celetuk Anggi yang sudah dua tahun bergabung di komunitas ini sambil disahuti tawa riang gembira kawan-kawan lainnya.
Lelaki bernama lengkap Anggi Setiawan ini sebelumnya anak pelarian dari rumah. Dia memakai pernak-pernik Punk sendiri karena ikut-ikutan pergaulannya. Sama dengan Punk Muslim lainnya ketika menceritakan masa lalu mereka. Anggi sendiri tidak pernah tahu apa arti dan tujuan dari Punk. Bagi Anggi kalau dia tidak ikut mabuk, ngelem (mabuk menghisap uap lem aibon), memakai tindikan di kuping hingga merokok dia akan dianggap norak sama teman-temannya dulu.
Antara Tato dan Sholat
Ada pengalaman menarik yang dialami Anggi. Suatu ketika saat sedang mengamen di daerah Cakung, Jakarta Timur. Ia ditangkap razia polisi pamong praja (Pol PP). Punk Muslim yang memiliki tim advokasi anak jalanan langsung memberikan bantuan kepadanya. Setelah keluar dari penjara ia lantas menetap di Warung Udik Pulo Gadung. Warung Udik adalah nama lain dari markas Punk Muslim ini.
Punk Muslim bikin gue ngerti akhirnya apa tujuan hidup yang sebenarnya, Punk Muslim bikin gue sadar fitrah hidup gue bang, gue (fitrahnya) Islam dan karena itu gue takut Allah nggak ridho sama gue,” jelas lelaki kelahiran Jakarta, 17 Agustus 1993 ini.
Rahmat Purwadipun atau Danang menambahkan kisah sahabatnya Anggi tersebut. Lelaki kelahiran Jakarta, 23 Januari 1991 ini sangat jauh dari agama. Kebenciannya terhadap ketidakadilan membuat dia tidak peduli pada apapun selain bertahan hidup. Perkelahian, kekerasan sudah menjadi bagian hidupnya. Sebagai seorang Punk Jalanan hukum rimba akan selalu berlaku. Konsep persamaan hak juga sebenarnya tidak ada. Karena pada dasarnya di dalam punk juga terdapat penindasan.
“Ya namanya kita nggak mau mabok terus dipaksa mabok kan penindasan juga bang...,” 
Jauh dari sholat, tidak ada keteraturan dan tujuan hidup telah melekat dalam hidupnya. Semua itu seratus persen berubah saat ini. Danang ikini cenderung lebih pendiam dan tenang. Dia jarang bicara kecuali perlu. Menjaga diri dari perkataan dan perilaku yang tidak bermanfaat telah membuatnya menjadi seorang pendiam.
Danang sadar, jika kita tidak mau disakiti orang lain maka kita jangan menyakiti orang. Itulah yang menyebabkan ia jarang bercanda, teringat masa lalu ia sering bertengkar karena salah paham dalam bercanda.
“Sekarang gue ngerti kenapa gue harus ngejar surga. Hidup udah kayak neraka buat gue, masa setelah mati gue ketemu neraka lagi,” jelas Danang yang kini selalu menjaga sholat 5 waktunya.
Sementara Sarkam atau biasa dipanggil Asep punya kisah yang lebih mendalam. Rasa bersalahnya atas tato yang sudah terlanjur melekat terus menghantui.
Asep memang satu-satunya yang memiliki tato paling banyak di antara anggota Punk Muslim lainnya. Beragam kisah masa lalunya hampir sama dengan Anggi dan Danang.
Namun, Asep lebih banyak merasa rendah diri ketika tampil di depan umum. Keinginannya untuk segera memiliki pinangan hidup begitu dalam. Seiring itu, dia sering merasa tidak percaya diri. Semua itu bukan karena masa lalu semata, tapi juga karena tato yang terlanjur menempel di sekujur lengannya.
“Gue sadar gue masih Islam turunan meski gabung Punk Muslim tidak lantas ini ngejamin gue masuk surga. Tapi setidaknya gue punya harapan buat ngejar ampunan Allah setelah dibina di Punk Muslim,” jelas lelaki kelahiran Kuningan, 17 Agustus 1988 ini.
Asep bercerita melepaskan diri dari kehidupan Punk menjadi seorang Muslim tidak mudah. Bahkan sering godaan-godaan untuk mabuk dan bermaksiat lagi datang. Beruntung di komunitas ini ada banyak saudara yang saling mengingatkan. Bahkan saling menutupi aib untuk tetap saling memotivasi. Saat ini Asep memulai bisnis warung kelontong dan jualan kayu bangunan.
“Kalau lagi lemah iman, gue cari kesibukan atau gue banyak-banyakin ngumpul sama teman-teman di markas ini,” jelas Asep lagi.
Semua hal itu dibenarkan oleh Iip Iswaryadi atau biasa dipanggil Otoy. Lelaki kelahiran 8 Februari 1983 ini termasuk yang dituakan di komunitas. Buat dia Punk Muslim adalah hal yang gampang untuk didefinisikan. Punk Muslim adalah kemandirian dari akidah hingga ekonomi.
Secara ekonomi anak-anak tidak mau disebut miskin. Anak-anak Punk Muslim menolak mengemis bantuan donatur. Secara akidah Punk Muslim wewajibkan anggota mengikuti pengajian tiap hari Senin malam.
“Kita biayain markas aja ini ngontraknya dari ngamen, dulu pernah dibantu lembaga zakat, tapi gitu ribet ngurusnya dan bantuannya juga formalitas doang,” jelas Otoy.
Selain mengamen dan bisnis kayu. Punk Muslim juga bisa menyablon. Biasanya mereka merilis merchandise komunitas untuk dijual. Hasil penjualannya untuk biaya mengurus dan biaya bayar sewa markas.
Dulu Punk Muslim memang sering bekerja sama dengan lembaga zakat tertentu. Namun semua itu sudah ditinggalkan. Pasalnya, mereka sedih dengan pola birokrasi yang ada di lembaga zakat tersebut.
“Ya bingung aja bang, masa kita harus urus ini dan itu yang kita sendiri baca aja nggak semua bisa. Bikin KTP aja susah,” jelasnya.
Dua buah bendera berkibar di lantai dua markas Punk Muslim. Bendera Merah Putih dan Bendera Palestina. Usai pengajian tepat dipukul 01.30 Dini hari. Setelah mereka menyiapkan sajian mie instant. Semua dibeli secara kolektif. Mie Instant untuk sang Ustad, tim Hidayatullah dan para anggota Punk Muslim. Santapan lezat dini hari apalagi cuaca dingin seusai pengajian begitu terasa. Pukul 03.00 dini hari Ustadpun izin pulang karena ada jadwal dakwah siang nanti.
Sunyi suasana Pulo Gadung dini hari itu. Laju motorpun meninggalkan tempat dimana para petarung itu telah menjalani kemerdekaan. Ketika tidak setiap orang justru mampu menemukannya. Anggi, Danang, Asep, Otoy dan lainnya telah kembali menasehati kita tentang rasa syukur. Tentang ketangguhan melawan keterbatasan. Tentang menang melawan diri sendiri. Bahkan sering terasa mereka telah dewasa lebih cepat dari umur mereka.
Pelan-pelan komunitas Punk Muslim, berproses menjadi Muslim dan meninggalkan total subkultur Punk yang identik dengan kebebasan tanpa aturan agama.
“Buat kami ini revolusi bung!” tegas Otoy.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar