APA yang Anda ketahui ketika
mendengar kata Punk? Seorang pengamen dengan rambut berwarna di lampu
merah? Penuh tato dan suka mabuk bahkan jauh dari agama? Pecinta musik
yang suka meninggalkan sholat dan mungkin segudang penilaian negatif
lainnya.
Namun, suasana di pinggir terminal Pulo Gadung ini
terasa jauh berbeda. Sebuah rumah dua tingkat yang 65% bahan bangunannya
terbuat dari papan. Ruangan tengah penuh dengan foto-foto dokumentasi.
Semua foto itu seakan bercerita bagaimana sejak awal komunitas ini
berdiri. Tepat didepan pintu masuk ada sebuah rak lemari berisi tumpukan
Al Qur’an. Beberapa peralatan sablon. Suasana merakyat itu semakin
lengkap dengan lantunan ‘Ujung Aspal Pondok Gede’ dari Iwan Fals.
Dinyayikan bersama-sama dengan gendang rakitan sambil menghitung
pendapatan dari mengamen hari ini.
“Ya beginilah anak-anak, siang mengamen mikirin
dapet duit, malamnya kita istirahat. Kalau hari Senin wajib untuk ikut
pengajian. Biasa bang siraman ruhani cieeeeee.....” Jelas Otoy salah
satu anggota komunitas Punk Muslim langsung di soraki teman-temannya
penuh canda dan persaudaraan, Senin (03/09/2012).
“Gaya lo Toy..toy” Celetuk seorang rekan Punk Muslim lainnya.
Beberapa orang seperti Anggi, Otoy, Danang dan
sekitar 20 anggota Punk Muslim hari ini berkumpul di markas Punk Muslim
tersebut. Setengah dari jumlah tersebut baru tiba dari mengamen keliling
kota. Tidak berapa lama, Asep salah satu anggota senior tiba dari
kampungnya setelah melaksanakan mudik Lebaran. Hari ini adalah jadwal pengajian mereka disetiap hari senin.
Setelah menunggu dari pukul 19.00WIB, tepat pukul
23.30 WIB acara pengajianpun dimulai. Materi tentang kesesatan Syiah-pun
dikupas tuntas oleh sang ustad yang juga merupakan penggerak dakwah di
jalanan Jakarta.
Ada yang garuk-garuk kepala, ada yang tertidur
karena begitu lelah. Ada juga yang mencatat dan mendengarkan dengan
khusyu kajian sang Ustad yang sudah seperti ayah sendiri bagi anak-anak
ini.
Inilah sehari-hari mereka. Siang hari mereka
disibukkan dengan mencari nafkah. Hampir semua anggota Punk sejak
berumur belia tidak biasa meminta uang kepada orangtua mereka. Sejak
kecil mereka sudah terbiasa mencari makan sendiri di jalanan yang keras.
Mengamen, menjadi kuli bangunan, berjualan pulsa hingga membuka warung kelontongan secara kolektif (patungan).
“Sebenarnya makan nggak makan asal ngaji bang
hahahahah,” celetuk Anggi yang sudah dua tahun bergabung di komunitas
ini sambil disahuti tawa riang gembira kawan-kawan lainnya.
Lelaki bernama lengkap Anggi Setiawan ini
sebelumnya anak pelarian dari rumah. Dia memakai pernak-pernik Punk
sendiri karena ikut-ikutan pergaulannya. Sama dengan Punk Muslim lainnya
ketika menceritakan masa lalu mereka. Anggi sendiri tidak pernah tahu
apa arti dan tujuan dari Punk. Bagi Anggi kalau dia tidak ikut mabuk, ngelem (mabuk menghisap uap lem aibon), memakai tindikan di kuping hingga merokok dia akan dianggap norak sama teman-temannya dulu.
Antara Tato dan Sholat
Ada pengalaman menarik yang dialami Anggi. Suatu
ketika saat sedang mengamen di daerah Cakung, Jakarta Timur. Ia
ditangkap razia polisi pamong praja (Pol PP). Punk Muslim yang
memiliki tim advokasi anak jalanan langsung memberikan bantuan
kepadanya. Setelah keluar dari penjara ia lantas menetap di Warung Udik
Pulo Gadung. Warung Udik adalah nama lain dari markas Punk Muslim ini.
“Punk Muslim bikin gue ngerti akhirnya apa tujuan hidup yang sebenarnya, Punk Muslim bikin gue sadar fitrah hidup gue bang, gue (fitrahnya) Islam dan karena itu gue takut Allah nggak ridho sama gue,” jelas lelaki kelahiran Jakarta, 17 Agustus 1993 ini.
Rahmat Purwadipun atau Danang menambahkan kisah
sahabatnya Anggi tersebut. Lelaki kelahiran Jakarta, 23 Januari 1991 ini
sangat jauh dari agama. Kebenciannya terhadap ketidakadilan membuat dia
tidak peduli pada apapun selain bertahan hidup. Perkelahian, kekerasan
sudah menjadi bagian hidupnya. Sebagai seorang Punk Jalanan hukum rimba
akan selalu berlaku. Konsep persamaan hak juga sebenarnya tidak ada.
Karena pada dasarnya di dalam punk juga terdapat penindasan.
Jauh dari sholat, tidak ada keteraturan dan tujuan
hidup telah melekat dalam hidupnya. Semua itu seratus persen berubah
saat ini. Danang ikini cenderung lebih pendiam dan tenang. Dia jarang
bicara kecuali perlu. Menjaga diri dari perkataan dan perilaku yang
tidak bermanfaat telah membuatnya menjadi seorang pendiam.
Danang sadar, jika kita tidak mau disakiti orang
lain maka kita jangan menyakiti orang. Itulah yang menyebabkan ia jarang
bercanda, teringat masa lalu ia sering bertengkar karena salah paham
dalam bercanda.
“Sekarang gue ngerti kenapa gue harus ngejar surga.
Hidup udah kayak neraka buat gue, masa setelah mati gue ketemu neraka
lagi,” jelas Danang yang kini selalu menjaga sholat 5 waktunya.
Sementara Sarkam atau biasa dipanggil Asep punya
kisah yang lebih mendalam. Rasa bersalahnya atas tato yang sudah
terlanjur melekat terus menghantui.
Asep memang satu-satunya yang memiliki tato paling banyak di antara anggota Punk Muslim lainnya. Beragam kisah masa lalunya hampir sama dengan Anggi dan Danang.
Namun, Asep lebih banyak merasa rendah diri ketika
tampil di depan umum. Keinginannya untuk segera memiliki pinangan hidup
begitu dalam. Seiring itu, dia sering merasa tidak percaya diri. Semua
itu bukan karena masa lalu semata, tapi juga karena tato yang terlanjur
menempel di sekujur lengannya.
“Gue sadar gue masih Islam turunan meski gabung Punk Muslim tidak lantas ini ngejamin gue masuk surga. Tapi setidaknya gue punya harapan buat ngejar ampunan Allah setelah dibina di Punk Muslim,” jelas lelaki kelahiran Kuningan, 17 Agustus 1988 ini.
Asep bercerita melepaskan diri dari kehidupan Punk
menjadi seorang Muslim tidak mudah. Bahkan sering godaan-godaan untuk
mabuk dan bermaksiat lagi datang. Beruntung di komunitas ini ada banyak
saudara yang saling mengingatkan. Bahkan saling menutupi aib untuk tetap
saling memotivasi. Saat ini Asep memulai bisnis warung kelontong dan
jualan kayu bangunan.
“Kalau lagi lemah iman, gue cari kesibukan atau gue banyak-banyakin ngumpul sama teman-teman di markas ini,” jelas Asep lagi.
Semua hal itu dibenarkan oleh Iip Iswaryadi atau
biasa dipanggil Otoy. Lelaki kelahiran 8 Februari 1983 ini termasuk yang
dituakan di komunitas. Buat dia Punk Muslim adalah hal yang gampang untuk didefinisikan. Punk Muslim adalah kemandirian dari akidah hingga ekonomi.
Secara ekonomi anak-anak tidak mau disebut miskin. Anak-anak Punk Muslim menolak mengemis bantuan donatur. Secara akidah Punk Muslim wewajibkan anggota mengikuti pengajian tiap hari Senin malam.
“Kita biayain markas aja ini ngontraknya dari
ngamen, dulu pernah dibantu lembaga zakat, tapi gitu ribet ngurusnya dan
bantuannya juga formalitas doang,” jelas Otoy.
Selain mengamen dan bisnis kayu. Punk Muslim juga bisa menyablon. Biasanya mereka merilis merchandise komunitas untuk dijual. Hasil penjualannya untuk biaya mengurus dan biaya bayar sewa markas.
Dulu Punk Muslim memang sering bekerja
sama dengan lembaga zakat tertentu. Namun semua itu sudah ditinggalkan.
Pasalnya, mereka sedih dengan pola birokrasi yang ada di lembaga zakat
tersebut.
“Ya bingung aja bang, masa kita harus urus ini dan itu yang kita sendiri baca aja nggak semua bisa. Bikin KTP aja susah,” jelasnya.
Dua buah bendera berkibar di lantai dua markas Punk Muslim. Bendera
Merah Putih dan Bendera Palestina. Usai pengajian tepat dipukul 01.30
Dini hari. Setelah mereka menyiapkan sajian mie instant. Semua dibeli
secara kolektif. Mie Instant untuk sang Ustad, tim Hidayatullah dan para
anggota Punk Muslim. Santapan lezat dini hari apalagi cuaca
dingin seusai pengajian begitu terasa. Pukul 03.00 dini hari Ustadpun
izin pulang karena ada jadwal dakwah siang nanti.
Sunyi suasana Pulo Gadung dini hari itu. Laju
motorpun meninggalkan tempat dimana para petarung itu telah menjalani
kemerdekaan. Ketika tidak setiap orang justru mampu menemukannya. Anggi,
Danang, Asep, Otoy dan lainnya telah kembali menasehati kita tentang
rasa syukur. Tentang ketangguhan melawan keterbatasan. Tentang menang
melawan diri sendiri. Bahkan sering terasa mereka telah dewasa lebih
cepat dari umur mereka.
Pelan-pelan komunitas Punk Muslim, berproses menjadi Muslim dan meninggalkan total subkultur Punk yang identik dengan kebebasan tanpa aturan agama.
“Buat kami ini revolusi bung!” tegas Otoy.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar