Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang
sempurna dan terbaik dibandingkan dengan makhluk yang lainnya (QS.
95:4), karena sangat tergantung pada hatinya: “Kalau hati itu baik maka
baiklah seluruh badannya, tapi kalau hati itu rusak, maka rusaklah
seluruh badannya” (HR. Muttafaq’alaih). Sedang Prof. DR. Dr. Rusdi
Lamsudin seorang guru besar di Fakultas Kedokteran UGM menyatakan dalam
teori kedokteran tidak ada seorang dokterpun yang berani menegaskan hati
yang mana yang dimaksudkan Rasulullah itu. Untuk itu kita akan
mempelajari dan mendalami ilmu Allah yang tertebar di alam ini.
Potensi Hati yang diberikan oleh Allah berfungsi untuk
memahami ayat-ayat Allah (QS. 22:46; 16:78; 7:79), baik yang tertulis
(kitab suci) maupun yang tidak tertulis (alam semesta) (QS. 3:190-191).
Menurut Imam Al Ghozali hati dibedakan menjadi 2, hati yang kasar
(fisik) yang berupa liver/hepar/heart, sedangkan hati yang halus (non
fisik) disebut dengan akal. Potensi fitrah yang akan kita kuatkan di
sini adalah hati yang halus itu (akal), dengan demikian yang kita
maksudkan dengan membangun kecerdasan hati disini adalah membangun
kecerdasan hati yang halus yaitu kecerdasan akal.
Orang yang berakal (Ulil Albab; QS.3:190-191) adalah
orang yang berdzikir, berfikir, dan ikhtiyar, sehingga akal dapat
terdiri dari 3 bagian pentin, yaitu: Iman, Rasio, dan Rasa. Secara
pemahaman Iman melahirkan SI (Spiritual
Intelligence), yaitu kecerdasan spiritual, sedang Rasio
melahirkan EI (Emotional Intelligence), yaitu
kecerdasan intelektual, dan Rasa melahirkan EI
(Emotional Intelligence), yaitu kecerdasan emosi.
Untuk memahami potensi fitrah yang merupakan
kesempurnaan manusia, maka perlu difahamkan dan dikuatkan kembali katiga
potensi (unsur) dasar/fitrah manusia, yaitu Iman, Rasio, Rasa. Dr.
Taufik Pasiak mengistilahkan dengan Otak
Rasio, Otak Intuitif, dan Otak Spiritual. Sebagai
perbandinga, Malaikat punya Iman tapi tidak punya rasa, sehingga
malaikat tidak pernah menyimpang (selingkuh), sedangkan binatang punya
sejenis rasa (instink) tapi tidka punya rasio, sehingga tidak bisa
dibedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Potensi pertama adalah Rasio (Otak Rasional).
Rasio inilah sebagai sarana untuk kita untuk mengindera semua yang ada
di alam jagad raya ini, misalnya kita dapat melihat manusia, rumah,
mobil, kedudukan. Otak rasio ini cenderung otak kiri (Short
Term Memory) yang cara kerjanya antara lain: konvergen,
digital, abstrak, proporsional, analitik, linear, rasional, dan
obyektif. Potensi Fikir/Rasio yang melahirkan IQ tetap harus dimiliki,
karena inilah yang memberikan sentuhan pada kehidupan manusia dari aspek
pemahaman (Faqih) ilmu dan teknologi untuk dapat
mengelola alam ini denganbaik. Ini dapat dilatih dengan memahami dan
menganalisa permasalahan yang dihadapi setiap saat atau dengan mengamati
langsung baik melihat secara nyata (QS. 3:137) maupun dengan tayangan
multi media. Namun kalau hanya dengan rasio (otak kiri) saja, ini
tidaklah cukup, karena hal ini sering menjebak manusia kalau sekedar
mengukur keberhasilan manusia hanya berdasar IQ saja (Sri Gunung),
karena ternyata dalam suatu penelitian diperoleh hasil bahwa maksimum IQ
hanya 20 % memberi kontribusi terhadap keberhasilan manusia. Tapi untuk
membangun IQ manusia susah payah melakukan pengamatan, penyelidikan
bertahun-tahun, namun bagaimana dengan menyadarkan potensi yang lain?
Potensi Kedua yang ada pada manusia adalah Rasa
(Otak Intuitif), yaitu kemampuan seseorang untuk dapat
merasakan apa yang ada pada sekelilingnya sehingga lahirlah kecerdasan
emosi (EI). Kecerdasan rasa (otakintuitif) ini cenderung menggunakan
otak kanan (Long Term Memory), yang cara kerjanya antara lain: divergen,
analogi, primer, konkret. sintetik,holistik, relasional, subjektif.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasullullah SAW terhadap seorang
sahabatnya, sebagai berikut: “Ada dalam suatu riwayat diceritakan bahwa
seorang sahabat menghadap Rasulullah SAW, dia secara IQ sudah faham
bahwa berzina itu tidak boleh bahkan hafal ayatnya (QS. 17:32), tetapi
dia tetap minta izin pada Rosul untuk berzina. Rosul faham bahwa sahabat
tersebut kecerdasan emosinya (EI)nya rendah, sehingga sahabat tadi
diajak merasakan dengan ditanya: bagaimana kalau suatu saat Ibumu yang
dizinai orang lain?, bagaimana kalau suatu saat saudara perempuanmu yang
dizinai orang lain?, bagaimana kalau istrimu yang dizinai orang lain?,
dan bagaimana kalau anak kamu yang dizinai orang lain, boleh?. Semuanya
ditentang oleh sahabat tadi, yang akhirnya dia tidak jadi berzina,
karena dia sadar kalau dia menzinai seorang perempuan pasti ada orang
lain yang tidak setuju dan kalau ketahuan akan dibunuh, seperti yang dia
rasakan dan pikirkan, apakah itu anaknya, saudaranya, suaminya, atau
bapaknya dari perempuan yang dia ajak berzina.
Kecerdasan Emosi (EI) untuk merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain (empati) atau kalau Rosulullah bersabda: tidaklah
beriman kalian kalau kalian tidak mencintai orang lian seperti kaian
mencintai dirimu sendiri, ini semua tidaklah cukup dilatih
dengan sekedar difikirka, tetapi harus berinteraksi dan merasakan
secara langsung sehingga diperoleh suatu penghayatan (Tafakur). Proses
mengolah rasa ini memerlukan penjagaan yang terus menerus secara
kontinue, oleh karena itu membutuhkan pengkondisian hati dengan suatu
yang nampak (real), misalnya dengan terjun langsung pada akar
permasalahan yang kita hadapi (tidak cuek).
Potensi Ketiga adalah Iman (Otak Spiritual),
inilah potensi fitrah yang selalu melekat pada diri manusia, siapapun
dia pasti menginginkan masuk syurga, hidup dalam kedamaian, keikhlasan,
kasih sayang dan mendapatkan keridhoan dari Sang Pencipta. Iman inilah
yang melahirkan kecerdasan Spiritual (SI) yang dapat dilatih dengan
merenung dan memaknai hidup ini dengan benar sesuai dengan aturan Sang
Pencipta sehingga lahirlah pemaksanaan yang benar (Dabara)
dalam hidup di Bumi Allah ini. Namun kesadaran ini kadang muncul kadang
tenggelam. Saat muncul manusia mampu mendengarkan suara hatinya yang
telah diturunkan oleh Allah dari nama dan sifat Allah ke dalam jiwanya
(QS. 30:30; 7:172; 91:8-10), maka kemulian hidupnya dapat bermanfaat
bagi kehidupan orang lain. Namun ketika suara hari nuraninya hanya
sayup-sayup terdengar dan bahkan akhirnya tenggelam tidak muncul,
artinya terhalangi oleh penyimpangan kehidupan manusia yang datangnya
hawa nafsu jelek manusia yang berupa: penyimpangan naluri
(ketuhanan, kemanusiaan, kealaman), penyimpangan tabiat
(kesukuan, lingkungan, pola hiudup), dan syahwat (harta,
tahta, biologis), maka hidupnya tidak menentu (split personality),
seperti pribadi tanpa petunjuk dan hidupnya akan banyak permasalahan.
Potensi keimanan ini sebenarnya telah tertanam di dalam
jiwa manusia sejak kita di alam Ruh, sebagaimana Firman Allah (QS.
91:8-10): “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan (kejelekan) dan ketaqwaannya (kebaikan), sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa it, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mnegotorinya” Jiwa bersemayam didalam hati,
maka jiwa inilah tumpuan amal kebaikan dan keburukan manusia. Manusia
diberikan kebebasan untuk mengelola jiwa, apakah mau disucikan atau
dikotori?, dan bahkan perubahan (reformasi) suatu kaum/negara/lembaga
tidak akan terjadi kalau tidak diawali perubahan dari masing-masing jiwa
manusia yang terlibat dalam negara/lembaga itu sendiri (QS. 13:11).
Kata kunci untuk menyucikan/membersihkan semua yang
menghalangi kefitrahan hari manusia itu adalah dengan ikhlas. Tetapi
untuk membangun keikhlasan sehingga manusia berbuat
hanya untuk Allah semata dan mampu mendekati dan menyatu dengan kehendak
dan sifat Allah, tidaklah ssemudah membalikkan tangan kit, maka
diperlukan suatu pengkondisian dan latihan yang kontinue setelah adanya
penyadaran bahwa Allah-lah Sang Pencipta alam semesta beserta dengan
isinya termasuk manusia, Allah-lah Sang Pemilik, dan yang berhak
mengatur kehidupan di alam semesta ini. Ibarat kita pemilik rumah, maka
kitalah yang berhak mengaturnya, dan kalau ada orang lain yang masuk tak
diundang, merusak, mencuri, maka akan kita usir dan kita panggilkan
polisi kalau perlu dibawa ke penjara. Betapa Maha Pengasih dan
Penyanyangnya Allah terhadap manusia, karena banyak manusia yang
melakukan perbuatan kesalahan di bumi Allah, tapi Allah masih memberikan
kesempatan kepada manusia untuk memperbaiki diri dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Bijaksana.
Suatu proses membangun kecerdasan hati agar selalu
ikhlas dengan cara mensinergikan ketiga potensi fitrah manusia itu,
yaitu antara Rasio (IQ) sehingga cerdas
dan melahirkan simpati, Rasa (EI) sehingga
lahirlah trampil dan melahirkan empati,
dan Iman (SI) sehingga taqwa
dan lahirlah telepati, diperlukan suatu
koordinasian dengan suatu model pelatihan
dengan didukung multi media untuk membangun kecerdasan hati
mensinergikan kecerdasaan intelektual, emosi dan spiritual
dengan harapan dapat dijadikan stimulasi untuk mendukung terciptanya
manusia unggul (Ulil Albab) terpada antara IQ, EI, dan SI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar