Anak muda berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan status dewasa, untuk mendapatkan kebebasan, kesetaraan dan kepercayaan.
Mungkin bagi yang ”senior” sudah agak lupa, kalau kita dulu
benar-benar memperjuangkan status ini, setidaknya kita ingin sekali
mendapatkan pengakuan bahwa kita sudah dewasa.
Dalam satu wawancara kami dengan beberapa ibu yang memiliki anak usia
antara 16 hingga 18 tahun, terdapat gambaran yang jelas. Anak muda itu
ingin sekali dianggap dewasa. Biasanya di usia 15 tahun keinginan ini
mulai ditunjukkan secara bertahap.
Hal ini sebenarnya adalah hal yang alamiah dan wajar saja dalam
pertumbuhan setiap orang, namun tetap saja menjadi kekuatiran yang
mendalam bagi orang tua. Orang tua seringkali sulit menerima bahwa anak
mereka sudah saatnya belajar menjadi orang dewasa.
Dan lebih merasa nyaman untuk tetap menganggap dan memperlakukan anak
mereka seperti anak kecil. Yang tentunya juga tidak bisa serta merta
disalahkan, karena seperti yang dikatakan seorang ibu yang menjadi
respondent dalam riset ini, ”Rasanya baru aja kemarin ngeliat
anak-anak belajar jalan, mulai sekolah, belajar naik sepeda, eh
tiba-tiba udah mau diperlakukan seperti orang dewasa, ya rasanya aneh
aja, kan mereka ini masih kecil……”. Bisa dibayangkan, bahwa yang dikatakan masih kecil itu adalah anak yang usianya sudah 16 tahun.
Sekarang, coba kita lihat, apa yang menjadi alasan anak muda sehingga ingin dianggap dewasa? Di sini ada tiga alasan.
Pertama, mereka ingin mendapatkan kebebasan seperti orang
dewasa, dan ternyata dimulai dari hal-hal yang sederhana, misalnya dalam
pemilihan pakaian, mereka merasa sudah saatnya diberikan kebebasan,
tidak diatur-atur, atau bahkan masih dipilihin sama orang tua.
Remaja perempuan sering komplain, karena dilarang beli baju tertentu,
karena dianggap terlalu seksi sama orang tuanya. Hal lain lagi soal
pacaran, anak muda ingin mendapat kebebasan untuk eksplorasi
ketertarikan mereka terhadap lawan jenis. Namun sering kali pacaran
harus dilakukan ”backstreet” alias diam-diam karena dilarang orang tua karena dianggap belum saatnya.
Lainnya lagi, menentukan tempat les, menentukan sekolah, menentukan
jurusan kuliah, dan masih banyak lagi yang esensinya ingin diberi
kebebasan.
Esensi kebebasan yang kedua, adalah masalah kesetaraan. Anak muda ternyata seringkali merasa ”nggak dianggap”
baik oleh teman-teman mereka yang lebih senior, atau kakak mereka yang
lebih tua, dan hal ini ternyata walaupun tidak disampaikan, tapi sangat
menggangu bagi anak muda.
Seorang mahasiswi putri mengatakan, ”sebenernya sebel banget tuh,
klo kita mau jalan bareng sama temen kos, pasti kita yang muda-muda
nggak pernah diajak diskusi mau pergi kemana. Pokoknya kalo mau ikut, ya
udah diem aja, liat aja ntar yang senior mau bawa kemana, kan nyebelin
tuh, tapi ya gimana lagi, namanya juga junior”.
Contoh lain adalah saat diskusi keluarga yang cukup penting,
seringkali orang tua hanya mengajak anak yang sudah senior atau yang
sudah berkeluarga. Dan ternyata ini cukup mengganggu buat anak muda,
karena sering dianggap tidak cukup dewasa untuk terlibat dalam
diskusi-diskusi saat ada permasalahan keluarga.
Ketiga, adalah masalah kepercayaan. Salah satu contohnya adalah soal keuangan, ”Yah
pengennya tuh kalo dikirimi uang, gak pake di intrograsi…segala, cukup
dikasih pengertian sekali, gak usah diulang-ulang tiap ngirim uang
bulanan…” begitu harapan seorang mahasiswa.
Contoh lain soal kepercayaan disampaikan salah satu responden
perempuan 27 tahun, dikatakan bahwa orang tuanya sering terlalu kuatir,
padahal dia sudah bukan anak kecil lagi. Satu waktu, orang tuanya
telpon, dan kebetulan karena tidak bisa tersambung, langsung mengecek ke
seluruh teman main, teman kuliah, ke ibu kos dan seluruh kontak lain
yang diketahui, dan ini juga sangat membuat malu, karena merasa
diperlakukan seperti anak kecil.
Salah satu insight dari riset ini, ada tiga esensi kedewasaan yang
sebenernya dipahami dan dikejar oleh anak muda, yaitu kebebasan,
kesetaraan dan kepercayaan. Yang semuanya berbicara soal hak yang ingin
mereka raih, lewat status ”dewasa”. Kalimat ”saya kan sudah 17 tahun…” atau ”aku kan udah gede, udah dewasa…” seringkali dijadikan magic word bagi anak muda, untuk menuntut kebebasan, kesetaraan dan kepercayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar