Rabu, 08 Agustus 2012

Apakah Perlu Jakarta Belajar Dari New York City?

Kemajemukan Penduduk dan Peradaban New York Sebagai Pembelajaran Jakarta
13444742951046194159
NYC (Manhattan) Malam Hari (Dok.Pribadi)
New York adalah kota terbesar di Amerika Serikat. Luasnya kota ini adalah dua kali lipat kota terluas kedua, Los Angeles (LA). Di samping itu juga, New York telah menjelma menjadi kota terpadat penduduknya dan dihuni hampir setengahnya (40%) justru oleh para pendatang (immigrant), yang datang dari berbagai ragam bangsa dan etnik. Kota New York adalah tempat tinggal untuk tidak kurang dari 8 juta orang. Keseluruhan negara bagian New York jumlah penduduknya lebih dari 20 juta orang.
Ada beberapa bagian di kota New York ini yang membuat tempat ini diistilahkan sebagai ‘Melting Pot’, merupakan bentuk penggambaran betapa padat dan beragamnya kota ini. Bagaimana dengan bahasa? Menakjubkan. Sekitar 800 bahasa dipakai dan dipergunakan di New York, menjadikannya sebagai kota yang memiliki bahasa paling beragam di dunia. Walaupun tentu saja bahasa Inggris tetaplah menjadi bahasa utama di sana, bahasa kedua terbanyak digunakan (bahasa resmi kedua) adalah Spanish. Bahasa Cina, Jepang, Italia, dan Perancis juga cukup banyak digunakan. Lantas apa kabar Bahasa Indonesia? Jangan kaget, untuk beberapa lokasi apartement dan perumahan, serta pertokoan di daerah China Town atau Queens misalnya, Anda dapat mendengar percakapan-percakapan dalam bahasa Indonesia, “Eh, di mana kedai kopi sekitar sini yah….” Tanya seorang warga New York asal Surabaya. “Oh, Anda dari Indonesia toh?…Saya dari Manado…” Jadi, ternyata ada juga lingkup keIndonesiaan yang punya andil menyemaraki kemajemukannya New York. Paling tidak, kalau di sorot dari satelit, batang hidung keIndonesiaan masih muncul di tengah kepadatan New York itu.
Perkembangan penduduk di New York memang terlihat cukup drastis. Lihat saja data statistik mereka, populasi penduduk pada tahun 1990 adalah sekitar 7 juta orang, hanya berselang 10 tahun (2010) sudah bertambah sebanyak 1 juta orang menjadi lebih dari 8 juta orang. Penambahan penduduk secara eksponensial ini tentu meningkatkan densitas ‘kota termahal’ di dunia ini.
New York adalah kota multiethnic dan multicultural. Hampir 40% penduduknya adalah kumpulan para pendatang. Menjadikan kota ini sebagai salah satu di antara beberapa kota di Amerika yang dihuni oleh bangsa pendatang terbanyak. Di banding kota-kota lain di Amerika, New York bertengger di nomor urut satu sebagai kota dengan terbanyak pendatangnya. Para pendatang yang mendominasi New York antara lain datang dari China, Jamaica, Mexico, Russia, Ecuador, Haiti, dan masih banyak lagi.
Kehidupan Keagamaan di New York

Lalu bagaimana tentang keberagaman keagamaan di New York? Menurut data statistik yang ada di departemen kependudukan New York , terlihat jelas bahwa jumlah penduduk Muslim di Amerika Serikat meningkat tajam dalam satu dekade tarakhir. Jumlah umat Muslim di negeri Paman Sam itu bahkan mengalahkan jumlah pertambahan warga Yahudi untuk kali pertama di sebagian besar daerah Midwest. Saya sendiri pernah tinggal di West Coast dan East Coast.
New York memiliki mesjid dengan jumlah terbanyak dibanding kota-kota lain di Amerika yaitu sekitar 250-an Mesjid, California menyusul di tempat kedua dengan 240-an Mesjid.
Salah satu penulis kajian tentang Islam di Amerika yang juga adalah guru besar kajian Islam di Universitas Kentucky, Ihsan Bagby, seperti yang pernah dimuat di TribunNews.com mengatakan bahwa komunitas Muslim di Amerika berkembang secara sehat, bersemangat, dan semakin menyatu untuk menjadi bagian dari Amerika. Nah, dalam pengamatan saya ada salah satu Mesjid di New York yang rupa-rupanya menjadi tempat favorit bagi para pendatang dari Indonesia, yaitu Mesjid Al-Hikmah. Bulan lalu ada bazaar dari Indonesian Islamic Community dari Mesjid Al-Hikmah tersebut, bunyi pengumumannya seperti ini Visit Masjid Al-Hikmah’s Tent near the rear section of the lot for our Irresistibly Delicious & Famous Gado-Gado, made on the spot by our Sisters”. Ada gado-gadonya lho….enak pastinya!
Masih menurut survei yang sama, ternyata ada sekitar 50-an persen pemimpin mesjid yang disurvei mengatakan bahwa mereka mengambil pendekatan yang fleksibel terhadap Al-Quran dan hadist Nabi Muhammad dengan tentu saja mempertimbangkan kehidupan modern. Maksudnya di sini tentu juga olehkarena kehidupan super modern dan majemuknya New York.
Setelah peristiwa September 11, mendorong Mesjid lebih aktif lagi menunjukkan interaksi dengan agama lainnya di Amerika. Walapun ada pengketatan terhadap setiap pendatang baru dan terhadap orang-orang muslim yang mau masuk Amerika, tetapi untuk kalangan intern Amerika keeratan Islam dan agama-agama lain justru makin meningkat. Saya menyaksikan itu secara terbuka di New York City. Sekat-sekat itu sudah lambat laun terurai. Pengalaman nyata dan indah berinteraksi antara kaum Muslim dengan kelompok lintas agama lain benar-benar membangun simpati dan empati dengan orang-orang dari keyakinan lain. Saling menghargai itu ternyata bukan hanya mimpi dan fatamorgana. Rupa-rupanya itu semua masih bisa kita lihat, asal kita semua mau membuka diri dan membuka hati untuk itu. Terkecuali kita mau saja dengan sengaja membutakan hati dan mata kita untuk hal-hal seperti itu. Kita mau saja dengan sengaja mengerdilkan diri kita, agama kita, bahkan iman kita.
Fakta-fakta tentang kesatuan dalam keragaman serta keberagaman yang beradab mesti dihormati dan dijaga. Perlu disyukuri dan diamini. Pembangunan Mesjid selama tahun 2011 lalu, oleh sebuah penelitian dikatakan bahwa banyak yang disponsori The Hartford Institute For Religion Research (Hartford Seminary), Badan-badan Keagamaan Amerika, kelompok sipil dari berbagai bangsa dan kelompok keagamaan, Dewan Hubungan Amerika-Islam. Mesjid yang terbesar sampai saat ini adalah Islamic Center of America yang berlokasi di Dearborn, Michigan. Mesjid ini dapat menampung lebih dari 3.000 jamaah. Asal asli jamaah, kedatangan mereka tersebar mulai yang dari Asia Selatan, Arab, kelompok African-American, Somalia, Irak, Afrika Barat dan masih banyak lagi tentunya.
Populasi penduduk yang beragama Kristen di New York sendiri mencapai 70% dengan jumlah gereja diperkirakan sebanyak 2000 bangunan gereja. Tapi ada juga gereja yang ‘hanya’ menggunakan community halls atau tempat-tempat pertemuan lainnya yang jumlahnya juga sudah mencapai ribuan banyaknya. Di kota ini juga berdiri megah gereja terbesar di New York State, dan bahkan mungkin yang terbesar di Amerika yaitu the Episcopal of St John the Divine. Di tempat yang sama ini juga hidup berdampingan mereka yang beragama lainnya, termasuk Budha dan Jews.
Saya pernah melihat di depan sebuah mesjid yang sementara dibangun terpampang indah tulisan, “Help us build the House of Allah and He will build one for you in Jannah.” Hanya beberapa lorong setelahnya ternyata ada gereja yang sementara membangun juga, dan ada spanduk bertuliskan, “Help us build this house of worship and He will repay you in Heaven.” Berdampingan secara rukun ternyata indah.
Perbedaan Etnis Dijadikan Kekuatan Mumpuni



1344474642578189652
Parade dari etnis Hispanic (Sumber:NYDailyNews.com)





Untuk urusan keragaman etnis, New York adalah gudang penyimpan terbesar. Indian American, Korean American, Chinese American,dan Asian American lainnya termasuk Indonesia American banyak menghiasi pusat kota New York. Apalagi ketika Anda melangkahkan kaki menuju Chinatown di downtown-nya New York , hampir dari segala pelosok Asia ada wakilnya bakalan Anda temui di sana. Agak naik ke bagian upper side dari kota ini akan ditemui ‘perkampungan’ Italia, Hispanic Society, perkumpulan dari jazirah Arab, Negara-negara Middle East, dan sebagian besar Eropa. Pokoknya melting pot-nya tiada bandingan dan tiada duanya.
Beberapa etnis grup terbesar menurut sensus dari BPS-nya Amerika beberapa waktu lalu menunjukkan dating dari African American, Caribbean, Puerto Ricans, Italians, West Indians, Dominicans, Chinese, Irish, Russian, dan Germany. Makanya tidak perlu heran kalau banyak ditemui nama-nama seperti Kampung Cina, ‘Little Italy’, Kampung Spanyol, Perkumpulan Irish, atau pun yang dari bangsa-bangsa lainnya. Walaupun tak seberapa, tapi ada juga berbagai komunitas orang Indonesia perantauan. Sebut saja diantaranya seperti Maesa, Kawanua, Sumonder dari Minahasa dan Manado, Paguyuban Surabaya, Perkumpulan Jawa, Kerukunan Keluarga Nusantara, dan masih banyak lagi.
Pemerintah Amerika pada umumnya, dan New York pada khususnya memang sangat jeli dan pintar memanfaatkan perbedaan dan keragamaan etnis yang sangat kaya itu. Mereka begitu lihai dan piawai memberdayakan keragaman etnis dan kultur sebagai alat untuk memajukan dan memasarkan diri. Coba tengok di New York, penduduknya terdiri dari etnis kulit putih (white people), kulit hitam (black people), kulit merah-keturunan Indian, kulit cokelat salak (keturunan Hispanik – Negara-negara Amerika Latin), dan kulit kuning langsat serta sawo matang (keturunan Asia), mewakili tentu saja hampir seluruh pelosok bumi. Setiap etnis itu kemudian menampilkan budaya asal masing-masing, di jalanan New York secara bergiliran akan selalu hadir acara-acara dan pawai-pawai budaya masing-masing etnis. Menampilkan daya tarik tersendiri yang begitu kuatnya menarik wisatawan dari manapun untuk datang dan berkunjung ke sana. Maka jadilah mereka pusat wisata nomor satu di seantero planet ini.
Barangkali terlalu jauhlah untuk membandingkan Indonesia dengan Amerika, atau Jakarta dengan New York. Sekarang, kita intip saja tetangga dekat kita Malaysia, yang begitu getol meniru pemanfaatan keberagaman yang sudah lama diterapkan Amerika tersebut. Rekan bisnis saya orang Latvia pernah berkata bahwa mereka bingung ketika melakukan pertemuan bisnis di Kuala Lumpur. Karena katanya, di dalam ruang pertemuan itu duduk 4 orang dengan wajah yang sama sekali berbeda. Yang satu orang Cina, yang satunya lagi India, sedangkan yang duanya terlihat seperti kebanyakan orang Melayu atau Malaysia-Indonesia. Tapi ketika ditanyai “Are you Malaysian or…?” Semuanya menjawab, “Ya, saya orang Malaysia”. Mau dia berasal dari etnis manapun tetap sudah menjadi “I am Malaysian”.
Makanya kita tidak usah iri melihat Malaysia menyebut diri mereka “Truly Asia” sebagaimana terumbar dalam berbagai slogan wisata mereka. Kenyataannya? Memang seperti itu. Bukankah di mata dunia Barat orang Asia itu adalah identik dengan Cina, India, dan Melayu. Ketiga etnis inilah yang mengambarkan apa dan seperti apa Asia itu sesungguhnya. Dan di Malaysia ketiga-tiganya sudah berbaur begitu nyata tak terpisahkan. Ketiga etnis inilah yang paling dominan di Malaysia. Jadi tidak salah mereka memasang slogan “Truly Asia”, karena itulah kenyataannya.
Apakah menjadi “Truly Asia”, atau menjadi potret Asia sejati itu kemudian bermanfaat bagi Negara Malaysia? Oh, tentu saja, keragaman etnis dan budaya berhasil mengangkat citra Malaysia. Untuk saat ini, daya jual Malaysia di dunia wisata adalah yang terdepan di Asia. Wisatawan yang mengunjungi Malaysia sebanyak 17 juta orang. Padahal penduduknya hanyalah 20-an juta orang. Rasio perbandingan yang bakalan membelalakkan mata kita yang membacanya. Luar biasa.
Kenapa Indonesia yang sebenarnya jauh lebih beragam dari Malaysia masih kalah laku dan memiliki ‘nilai jual’ yang rendah? Itu PR buat pemerintah dan masyarakat kita yang masih saja menganggap perbedaan itu sebagai musuh. Yang hanya jago berkutat pada tataran saling serang dan menyebar propaganda SARA. Masih terlena di bawah tempurung kekerdilan cara berpikir. Sama Kualalumpur saja Jakarta masih kalah, bagaimana mau mengalahkan New York?
Kota New York berhasil memanfaatkan dan mensinergikan berbagai keragaman dan kemajemukan yang ada di sana. Walhasil, kota ini berkembang sangat pesat. Itu juga tentu meningkatkan kesejahteraan penduduk kota. Pendapatan rata-rata per minggu di Manhattan adalah sebesar kurang lebih $1,700 USD, menjadikannya sebagai kota tertinggi dan tercepat dari segi perputaran uang dan pendapatan warga.
Ada beberapa hal yang mungkin saja tidak kita sukai di Amerika, tapi mesti diakui banyak hal juga yang perlu kita pelajari dari sana. Contoh kecil, di ID-Card (KTP) Amerika saya tidak tercantum agamanya apa. Kenapa? Apakah karena Amerika menganggap agama itu tidak penting? Salah. Justru karena agama itu begitu penting mereka tidak mau agama diperalat untuk msaksud-maksud tidak baih sehubungan dengan hal-hal sosial dan kemasyarakatan. Sehingga ketika Anda apply buat cari kerja, isi lamaran dan sebagainya itu, untuk urusan apapun, Anda tidak perlu memberitahu agamanya apa. Supaya menjaga untuk tidak terjadi diskriminasi dari segi keagamaan, dan sebagainya.

Akankah kita dengan segala keragaman, kemajemukan, dan kepelbagaian yang kita miliki, dapat menjadi sehebat, semakmur, dan seindah New York? Mungkin saja! Who knows….Biarlah perjalanan waktu yang menjawabnya. Yang pasti, kota Jakarta butuh perubahan dan pembaharuan. Jakarta Baru tidak boleh hanya ada dalam mimpi dan impian. Ia mesti diusahakan dan diwujudkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar