Sebagian orang bertaruh hidup untuk memburu mamalia yang kerap terlupakan. Beberapa menangkapnya dengan serakah. Hingga suatu saat, manusia justru bergantung pada kelelawar.
Batu-batu karang sebesar rumah bermunculan dari balik air di tepi garis batas laut dan darat. Sesekali riak-riak putih raksasa melahapnya dalam sekejap, diiring bunyi hantaman dahsyat serta suara sisa-sisa pecahan air yang membuat bulu kuduk berdiri.
Sekitar 60 meter di atas golakan air, sekitar setengah tinggi Monas, Gunarso dan dua rekannya warga Kampung Klampok, Purwosari, Gunung Kidul, menapakkan kaki di bambu yang tersusun di antara dua tali tambang plastik berwarna biru. Berjangkar pada sebuah pohon sebesar lengan orang dewasa serta sela bebatuan, tangga tali ini berusaha mengikuti liuk tubuh sang tebing walau kadang harus mengalah dan menggantung di beberapa tempat.
Seolah tak lagi peduli dengan kencangnya terpaan angin laut yang siap merenggut tubuh dari tali, para pemburu ini pun turun. Tujuan mereka hanya satu: sebuah mulut gua di kaki tebing bernama Kayuwalang yang dihuni oleh ribuan kelelawar. Saya dan fotografer Dwi Oblo pun mengikuti mereka menuruni tebing dengan menggunakan single rope technique.
Di bawah sana, setelah melewati bongkahan karang raksasa dan menerabas jalan air laut setinggi pinggang yang semakin lama semakin naik, kekelaman pun dalam sekejap menyergap. Angin laut segar tergantikan oleh bau kotoran kelelawar (guano) serta udara lembap yang terperangkap di dalam gua. Suara cericit kelelawar riuh tertangkap telinga. Sepatu saya menyentuh dasar yang halus: pasir putih menghampar di dasar gua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar