Ulaanbaatar
atau biasa disebut Ulan Bator yang berarti ‘pahlawan merah’ adalah
ibukota Mongolia, negara di kawasan Asia Timur dan Tengah yang diapit
Rusia dan Cina. Ulaanbaatar merupakan kota terbesar di Mongolia dengan
penduduk sekitar 1,3 juta atau hampir setengah dari penduduk Mongolia
yang berjumlah 2,8 juta jiwa dan merupakan jantung keuangan dan industri
serta pusat budaya Mongolia. Menurut sejarahnya, Ulaanbaatar sendiri
didirikan pada tahun 1639 sebagai pusat kegiatan suku-suku nomad
Mongol. Namun posisi kota yang permanen seperti yang dikenal sekarang
ini sebenarnya baru ditetapkan sekitar 150 tahun setelah didirikan atau
pada tahun 1778 setelah sebelumnya berpindah-pindah sebanyak puluhan
kali. .
Sebagai ibu kota negara yang landlock,
selain terhubung dengan sarana transportasi udara, sarana transportasi
lain yang menghubungkan Ulaanbaatar dengan dunia luar hanyalah melalui
jalan darat, termasuk penggunaan jaringan kereta Trans-Siberian Railway ke Rusia dan Chinese railway system ke Cina.
Cerita tentang Mongolia, ingatan banyak
orang tertuju kepada Genghis Khan (di Mongolia disebut dengan Chinggis
Khaan), seorang tokoh besar yang mempersatukan suku-suku nomad di
Mongolia dan mendirikan Kekaisaran Mongol pada tahun 1209. Pada puncak
kejayaannya, kekuasaan Kekaisaran Mongol membentang seluas 33 juta kilo
meter hingga Eropa Tengah dan sebagian wilayah Asia Tenggara, termasuk
ke Indonesia pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Kini di abad ke-21, Mongolia bukan lagi
negara besar karena sejak berabad-abad yang lalu kekuasaannya runtuh
akibat konflik internal dan juga perang bangsa-bangsa, termasuk Cina
yang menginvasi Mongolia pada masa Dinasti Ming pada tahun 1370 dan
mengambil alih sebagian wilayah dan masyarakat Mongol. Penduduk yang
tersisa mengungsi ke wilayah tengah dan bertahan sebagai bangsa dan
negara Mongolia hinga kemudian membentuk Ulaanbaatar sebagai ibu kota
negara,
Meski punya sejarah kejayaan yang besar,
jangan bayangkan Ulaanbaatar saat ini seperti ibu kota negara lainnya
di negara maju. Ulaanbaatar kini tidak lebih dari sebuah ibu kota
negara yang tua, kusam dan jarang bersolek. Berada di bawah pengaruh
asing selama berabad-abad, termasuk dibawah pengaruh dan kendali Rusia,
masyarakat Mongol seperti belum sempat berbenah dan membangun dirinya.
Dalam kesempatan berkunjung ke
Ulaanbaatar beberapa hari lalu, saya melihat sendiri kondisi tersebut.
Sepanjang perjalanan dari bandara Chinggis Khan menuju pusat kota,
jalanan beraspal yang dilalui penuh lobang di sana-sini dan debu-debu
beterbangan, di kiri kanan jalan terlihat tempat tinggal penduduk
berbentuk rumah ataupun tenda yang sangat sederhana. Sementara di latar
belakang terlihat perbukitan menghijau dan hamparan padang rumput luas
dengan kuda-kuda yang sedang merumput.
Begitu memasuki pusat kota, terdapat
jalan utama yang membelah kota Ulaanbataar dengan jejeran toko dan
restoran serta bangunan bertingkat di kiri kanan jalan.Bangunan-bangunan
tersebut terlihat kumuh dan sebagian besar terbengkalai dan dibiarkan
tidak terurus. Menurut keterangan pengemudi yang membawa kami ke pusat
kota, bangunan-bangunan tersebut meruoakan peninggalan Uni Soviet dan
jika sekarang terlihat rusak dan tidak terurus karena pemerintah tidak
memiliki cukup biaya untuk merawatnya.
Lalu lintas jalan raya terlihat ramai
dan padat dipenuhi berbagai kendaraan berbagai merk ternama, namun
kotor dan berdebu karena percikan debu yang berasal dari jalanan yang
kebanyakan tidak beraspal. Kemacetan terjadi di beberapa ruas jalan,
dengan satu dua orang polisi lalu lintas yang tengah berupaya mengurai
kemacetan tersebut. Uniknya, meski lalu lintas di Mongolia menggunakan
sistim jalur kanan dan letak kemudi kendaraan di sebelah kiri, namun
dari pantauan terlihat bahwa kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang
memiliki kemudi yang tidak seragam. Ada kendaraan yang menggunakan
kemudi di sebelah kiri sesuai aturan, sementara tidak sedikit pula yang
menggunakan kemudi di sebelah kanan.
Melihat kondisi Ulaanbaatar seperti di
atas, saya membayangkan kota Ulaanbaatar seperti sebuah kota kabupaten
di Indonesia saat ini atau Jakarta tahun 70an yang masih sangat
sederhana.
Namun di balik kesederhanaan kota
Ulaanbaatar dan dibalik tembok-tembok bangunannya, terlihat semangat
kehidupan masyarakat lokal yang cinta akan tanah air dan kotanya. Cinta
akan sejarah, budaya, dan sisa perjuangan yang membekas di tiap goresan
temboknya. Di balik tembok-tembok itu, masyarakatnya berlindung dari
udara dingin yang berlangsung sepanjang tahun. Sikap optimis terlihat
dari raut khas wajah masyarakat Monglolia dengan mata sipit, kulit
cokelat, serta rona merah yang mewarnai tulang pipi nan besar. Foto
dibawah ini mungkin bisa menggambarkan optimisme tersebut :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar