Minggu, 29 Juli 2012

Bulan Puasa, Kok Banyak Godaan Penyulut Emosi?


SHUTTERSTOCK
  Mungkin Anda sering berpikir, kok hal-hal yang menyulut emosi lebih gencar datang di bulan puasa, sih? Padahal Anda ingin menjaga ibadah puasa agar tetap khusyuk.

Memang tak dapat dipungkiri, hal terberat dari puasa bukan saja menahan lapar dan dahaga, melainkan menahan emosi. Hal ini tak kalah penting sekaligus pelik mengingat godaan penyulut emosi di bulan suci tampak tak kunjung habis.

“Memang ketika puasa kita berada dalam keadaan tidak terlalu nyaman karena lapar dan haus. Otomatis, ketidaknyamanan ini membuat emosi mudah terpicu,” tukas Widiawati Bayu, psikolog dari PT Kasandra Persona Prawacana. Oleh karena itu, Widiawati menyarankan setiap pasangan mengontrol diri agar sikap, hawa nafsu, juga emosi, senantiasa terkendali supaya puasa lebih banyak diisi dengan hal positif.

Faktor pemicu
“Suami dan istri itu ibaratnya satu jiwa. Namun, banyak hal yang bisa membuat keduanya bersinggungan,” kata Widiawati. Pasalnya, meski hidup dalam satu atap dan menghabiskan banyak waktu bersama, praktiknya tidak selalu berjalan mulus.

Sebut saja jika si dia malas membantu Anda menyiapkan sahur atau memutuskan lokasi salat Idul Fitri secara sepihak. Hal-hal kecil yang demikian, justru dapat memercik perselisihan yang akan berbuntut panjang jika tidak segera diselesaikan.

“Dalam lingkup keluarga, masalah pun tidak hanya menyangkut suami dan istri. Faktor anak, pengasuh, teman, atau rekan kerja juga bisa menjadi pemicu perselisihan dengan suami atau istri Anda,” paparnya. Misalnya jika pasangan terlalu sering menghadiri undangan buka puasa tanpa mengajak Anda. Saat cara yang ditempuh salah, misalnya lupa meminta izin dahulu, tanpa diduga konflik pun meletup.

Tunda amarah
Kunci dari perselisihan memang komunikasi. Akan tetapi, komunikasi yang seperti apa? Menurut Widiawati, komunikasi terbuka dan tulus dengan niat baik untuk menyelesaikan masalah adalah yang harus ditempuh. Artinya, jangan langsung terpicu jika pasangan memancing emosi negatif Anda.

“Duduk berdua, bicarakan apa yang tidak disukai. Lakukan komunikasi terbuka tanpa amarah. Karena sebenarnya semua orang tahu masalah yang dihadapi dengan amarah justru hanya akan mengendap, bukannya tuntas,” tegasnya.

Lagi pula, rasanya sayang jika niat ibadah justru tertoreh hal yang kurang baik, kan? “Bayangkan jika tiga puluh hari Anda memendam amarah, kekesalan menumpuk, lalu di Hari Lebaran Anda bermaaf-maafan namun sebenarnya ada yang masih mengganjal. Maknanya tidak diraih dan akan disesalkan di kemudian hari,” ujar Widiawati.

Kenali duduk perkara

Lalu bagaimana meredakan emosi yang sempat terpancing? Pertama, coba tenangkan diri lalu cari inti permasalahan. Apa sebenarnya yang Anda rasakan? Apakah Anda kecewa karena pasangan tidak bisa ikut menemani berbelanja kebutuhan buka puasa? Kesal karena masakan selalu bersisa di piring si kecil? Atau, luapan amarah justru berasal dari luar rumah dan si dia tak dapat menenangkan hati Anda? Jika pangkalnya telah ditemui, amarah akan lebih mudah diatasi.

Selanjutnya, pikirkan cara apa yang akan diambil untuk dibicarakan pada suami. Apakah akan langsung dibahas atau menanti waktu usai buka puasa?

“Untuk hal ini, kenali dulu karakter dan kondisi pasangan. Jika emosinya cenderung naik-turun saat puasa atau ia kelelahan setelah aktivitas kantor, sebaiknya membahas permasalahan di malam hari saja,” kata Widiawati. Biasanya setelah selesai makan, minum, dan beribadah, perasaan pun akan kembali nyaman dan kondusif.

Sementara ketika eksekusi, pengendalian emosi pun menentukan apakah masalah akan tuntas atau justru berlarut-larut. “Jadi jaga nada bicara agar tetap rendah dan ekspresi muka tidak ditekuk. Bayangkan jika Anda tiba-tiba disapa dengan nada bicara tinggi, tentu tidak enak, kan? Pasangan justru akan bingung. Nah, yang paling penting adalah utamakan kejujuran tentang yang Anda rasakan,” tambahnya. Percayalah, tidak memendam amarah akan membuat suasana hati Anda dan si dia lebih stabil.

Jangan ragu minta maaf
Selain melatih pengendalian diri, bulan puasa juga momen yang pas untuk lebih tahu apa yang si dia suka dan apa yang tidak, lalu hindari hal yang tidak disukainya.

“Hal kecil seperti membahas topik yang tidak ia suka, mengungkit kesalahannya, sampai bagaimana Anda menyediakan menu buka puasa, bisa menjadi penyebab juga, lho. Ingat, di meja makan juga Anda harus ‘mengolah’ kebahagiaan dengan menyediakan menu yang disukai anggota keluarga,” urai Widiawati.

Tetapi, wajar saja jika sesekali emosi Anda meluap bak air bah. “Namun setelah Anda menyadari melakukan kesalahan, segeralah minta maaf, karena itu bagian dari ibadah pula,” tambahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar