Sholat
merupakan perkara penting dalam kehidupan para salaf. Ia memiliki
pengaruh yang sangat mendalam dalam kehidupan mereka. Sehingga sholat
jama’ah merupakan aktifitas rutin yang membahagiakan dan menyejukkan
hati serta menerangi jiwa mereka. Hati mereka bagaikan gulita, jika
luput mengerjakan sholat jama’ah. Bahkan sholat jama’ah selalu
terngiang-ngiang dalam benak mereka.
Pentingnya sholat jama’ah dalam kehidupan
salaf sulit digambarkan dengan suatu ekspresi, dan susah dijelaskan
manisnya sholat jama’ah bagi pribadi mereka. Kita Cuma bisa
menggambarkan urgensi dan kedudukan sholat jama’ah di sisi para salaf
dengan meneropong kehidupan mereka lewat atsar-atsar yang dinukil dan
dibukukan oleh para ulama’ kita.
Meninggalkan Sholat Jama’ah Ciri Orang Munafik
Di zaman Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, sholat jama’ah merupakan perkara yang amat diperhatikan. Mereka takut tertimpa penyakit munafiq jika meninggalkan sholat jama’ah, karena orang-orang munafik malas melaksanakan sholat jama’ah.
Di zaman Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, sholat jama’ah merupakan perkara yang amat diperhatikan. Mereka takut tertimpa penyakit munafiq jika meninggalkan sholat jama’ah, karena orang-orang munafik malas melaksanakan sholat jama’ah.
Allah –Ta’ala- berfirman,
”Sesungguhnya orang-orang munafik itu
menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya
(dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali”. (QS.An-Nisaa’: 14)
Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy
-rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Inilah sifatnya
orang-orang munafiqin dalam amalan yang paling mulia, paling utama, dan
paling baik-yaitu sholat-, jika mereka berdiri untuk sholat. Mereka
berdiri dalam keadaan malas sholat. Karena mereka tidak memiliki niat
(maksud keinginan) untuk sholat, tidak pula memiliki keimanan
tentangnya, dan tidak pula mereka memiliki rasa takut (kepada Allah),
serta mereka tidak memahami maknanya”.[Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim
(1/743)]
Jadi, kebiasaan orang-orang munafiq adalah
malas mendirikan sholat di masjid bersama jama’ah kaum muslimin karena
mereka tak memahami hakekat sholat jama’ah. Mereka tak tahu bahwa sholat
jama’ah merupakan jalan-jalan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah
melalui lisan Rasul-Nya, Muhammad –Shollallahu alaihi wa sallam-.
Sahabat Anas bin Malik–radhiyallahu anhu- berkata,
“Barangsiapa yang ingin bergembira menemui
Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah sholat-sholat itu tatkala
dikumandangkan. Karena Allah telah mensyari’atkan sunanul huda
(jalan-jalan petunjuk) bagi Nabi kalian -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
dan sesungguhnya dia (sholat-sholat wajib) itu merupakan sunanul huda
(jalan-jalan petunujuk). Andaikan kalian sholat (fardhu) di rumah kalian
sebagaimana orang (munafiq) yang tinggal di rumahnya, maka kalian telah
meninggalkan sunnah (petunjuk) Nabi kalian. Andaikan kalian
meninggalkan petunjuk Nabi kalian, maka kalian akan sesat. Tak ada
seorang pun yang bersuci, lalu ia memperbaiki bersucinya, kemudian ia ke
masjid di antara masjid-masjid, melainkan Allah akan tuliskan kebaikan
bagi setiap langkah yang ia ayunkan, Dia (Allah) akan mengangkat derajat
orang itu dengannya, dan menghapus dosanya dengannya. Kami telah
menyaksikan orang-orang diantara kami, tak ada yang tertinggal dari
sholat jama’ah, kecuali orang munafiq yang nyata kemunafiqannya. Sungguh
ada seorang laki-laki didatangkan sambil dipapadi antara dua orang
sampai ia ditegakkan dalam shaf” . [HR.Muslim dalam Kitab Al-Masajid wa
Mawadhi' Ash-Sholah(654), dan Ibnu Majah dalam Kitab Al-Masajid wa
Al-Jama'at (777)]
An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, “Dalam
perkara ini semua terdapat penekanan masalah sholat jama’ah, menanggung
penderitaan dalam menghadirinya, dan bahwa jika seorang yang sakit dan
semacamnya mungkin sampai kepada sholat jama’ah, maka dianjurkan untuk
menghadirinya”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (5/159)]
Jadi, Sholat jama’ah merupakan ciri khas seorang mukmin.
Tak ada yang meninggalkannya, kecuali orang-orang munafiq yang dikuasai
oleh setan. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah
tiga orang dalam suatu kampung dan pedalaman, yang tidak ditegakkan
diantara mereka sholat, kecuali setan akan menguasai mereka. Lazimilah
(sholat) jama’ah, karena serigala akan memangsa kambing yang jauh
(sendirian)”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (547), An-Nasa’iy dalam
As-Sunan (847). Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (5577)]
Perhatikan bagaimana kehidupan para sahabat
dalam menjaga sholat jama’ah, sampai ada orang sakit yang dipapa,
dituntun diantara dua orang demi menghadiri sholat jama’ah. Mereka
bukanlah seperti orang-orang di zaman kita ini, mereka malah berbangga
meninggalkan sholat jama’ah, dan sebaliknya canggung menghadirinya
karena dalih “kolot”. Dia menganggap orang-orang yang menghadiri sholat
jama’ah sebagai orang-orang kolot karena masih saja mau mengikuti para
sahabat. Semoga Allah tidak memperbanyak jumlah orang seperti ini, dan
memberi petunjuk kepada mereka. Bagaimana sampai ia anggap mengikuti
generasi terbaik di sisi Allah sebagai perbuatan kolot, Nas’alullahal
‘afiyah minal khudzlan.
Bersegera menuju Masjid
Diantara tanda yang menunjukkan tingginya
semangat dan perhatian salaf dalam menjaga sholat jama’ah, mereka
bersegera menuju masjid sebelum adzan dikumandangkan. Lembaran-lembaran
sejarah emas telah mengisahkan semangat mereka tersebut. Coba kita
membuka sebagian kitab sejarah islamiyyah, niscaya kita akan menemukan
sosok yang sholeh dan bersemangat tinggi dalam mengikuti sunnah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqolaniy–rahimahullah- berkata: “Tidaklah dikumandangkan (adzan)
sholat sejak 40 tahun lalu, kecuali Sa’id ibnul Musayyib sudah berada di
dalam masjid”. [Lihat Tahdzib At-Tahdzib (4/87)]
Apa yang diceritakan Al-Hafizh, juga telah
diakui sendiri oleh Sa’id ibnul Musayyib -rahimahullah- tatkala beliau
berkata, “Aku tak pernah mendengarkan adzan di tengah keluargaku sejak
30 tahun”. [Lihat Ath-Thobaqot Al-Kubro (5/131) karya Ibnu Sa’d]
Adat kebiasaan yang baik seperti ini bukan
hanya dilakukan oleh Sa’id ibnul Musayyib, akan tetapi juga dilakukan
oleh salaf lainnya. Sekarang kita dengarkan Abul Asy’Ats Robi’ah bin
Yazid Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Mu’dzdzin tidak pernah
mengumandangkan adzan shubuh sejak 40 tahun, kecuali aku berada di
masjid; kecuali aku sakit atau musafir”.[LihatRiyadh An-Nufus(1/84) via
Ahammiyah Sholah Al-Jama’ah, (hal.75)]
Tidak Luput dari Takbirotul Ihram
Sholat jama’ah di dalam jiwa para salaf merupakan perkara yang sangat penting. Mereka adalah suatu generasi yang rela meninggalkan segala kehidupannya demi menghadiri munajatnya bersama Robbnya, bukan seperti sebagian orang yang rela meninggalkan sholat jama’ahnya demi kehidupan yang fana.
Sholat jama’ah di dalam jiwa para salaf merupakan perkara yang sangat penting. Mereka adalah suatu generasi yang rela meninggalkan segala kehidupannya demi menghadiri munajatnya bersama Robbnya, bukan seperti sebagian orang yang rela meninggalkan sholat jama’ahnya demi kehidupan yang fana.
Al-Qodhi Taqiyyuddin Sulaiman–rahimahullah-
berkata, “Aku tak pernah melaksanakan sholat dalam keadaan sendirian
sama sekali, kecuali dua kali saja. Seakan-akan aku tidak melaksanakan
sholat itu sama sekali”.Lihat Dzail Thobaqot Al-Hanabilah (2/365)
Waqi’ ibnul Jarroh Ar-Ru’asiy-rahimahullah-
berkata, “Dulu Al-A’masy hampir 70 tahun tak pernah luput dari takbir
pertama” Lihat As-Siyar (6/228)]
Demikianlah seorang muslim yang gemar
ibadah. Dia bersegera menuju ke masjid demi mengejar keutamaan shof
pertama dan bertakbirotul ihram bersama imam. Al-Hafizh Adz-Dzahabi
-rahimahullah- berkata, “Yahya ibnul Qoththon apabila menyebut
Al-A’masy, ia berkata: “Al-A’masy adalah seorang ahli ibadah , dan ia
menjaga sholat jama’ahnya dan shof pertama. Dia adalah ulama’
Islam”.[Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ (2/232)]
Muhammad bin Sama’ah -rahimahullah-
berkata, “Aku telah hidup selama 40 tahun, sedang aku tak pernah luput
dari takbir pertama, kecuali satu hari saja ketika itu ibuku meninggal.
Akhirnya akupun tertinggal satu kali sholat jama’ah”. [Lihat Tahdzib
At-Tahdzib (9/204)]
Sampai disana ada seorang salaf yang
bernama Ibrohim bin Yazid -rahimahullah- pernah berkata, “Apabila engkau
melihat seorang meremehkan takbir pertama, maka bercuci tanganlah
(berlepas tanganlah) darinya”.[Lihat Siyar Al-A’lam(5/62)]
Tinggalkan Pekerjaan Saat Adzan Terdengar
Bekerja untuk mencari nafkah adalah kewajiban seorang ayah dan kepala rumah. Namun kewajiban seperti ini tidaklah menghalangi paara salaf untuk menunaikan kewajiban yang lebih tinggi lagi, yaitu sholat jama’ah. Karena sholat jama’ah adalah hak Allah Robbul alamin atas para hambanya.
Bekerja untuk mencari nafkah adalah kewajiban seorang ayah dan kepala rumah. Namun kewajiban seperti ini tidaklah menghalangi paara salaf untuk menunaikan kewajiban yang lebih tinggi lagi, yaitu sholat jama’ah. Karena sholat jama’ah adalah hak Allah Robbul alamin atas para hambanya.
Tak heran jika disana ada seorang salaf
yang menghentikan aktivitasnya detik itu juga jika mendengarkan adzan.
Yahya bin Ma’in -rahimahullah- berkata ketika menceritakan perihal
kehidupan Ibrohim bin Maimun Ash-Sho’igh-rahimahullah-, “Apabila dia
(Ibrohim bin Maimun Ash-Sho’igh ) mengangkat palu, lalu ia mendengarkan
adzan, maka beliau tidak mengembalikannya (tidak memukulkannya)”.[Lihat
Tahdzib At-Tahdzib(1/173)]
Para salaf adalah suatu kaum yang tidak
dilalaikan oleh kehidupan dunianya sehingga rela menyia-nyiakan hak
Robbnya. Sebab mereka tahu bahwa mereka akan menghadap Allah dengan
membawa pahala sholat yang pertama kali akan dipertanggung jawabkan di
hadapan-Nya -Azza wa Jalla-.
Adz-Dzahabiy menyebutkan dalam sebuah
kitabnya bahwa, “Al-Aswad, apabila hadir waktu sholat, maka beliau
menderumkan ontanya walaupun pada sebuah batu”.[Lihat Siyar A’lam
An-Nubala’(4/53) karya Adz-Dzahabiy ]
Bulan Madu Bukan Rintangan
Bulan madu bukanlah merupakan suatu penghalang bagi para salaf dalam menunaikan dan mendahulukan hak Robb mereka. Bahkan ada di antara mereka yang rela meninggalkan istrinya demi melaksanakan sholat jama’ah. Mereka bukanlah seperti generasi masa kini, jika datang malam pengantin sedang mereka berbulan madu bersama istrinya, maka mereka tak rela bangun melaksanakan sholat Ashar atau sholat shubuh demi menyenangkan dan memuaskan syahwat belaka. Mereka lupa bahwa istri hanyalah perhiasan belaka dan penolong dalam ketaatan, bukan penolong dalam kedurhakaan kepada Allah. Mereka lupa akan hari kiamat saat tegaknya semua manusia dari Adam sampai manusia terakhir di hadapan Allah Al-Hakim (Sang Maha Bijaksana) untuk menghukumi, dan memutuskan segala tindak-tanduk makhluknya ketika di atas permukaan bumi ini. Ketika itulah Allah akan menampakkan segala yang tersembunyi sampai seorang yang bersembunyi dan berselimut bersama keluarganya akan dinampakkan oleh-Nya demi menanyakan segala perbuatannya.
Bulan madu bukanlah merupakan suatu penghalang bagi para salaf dalam menunaikan dan mendahulukan hak Robb mereka. Bahkan ada di antara mereka yang rela meninggalkan istrinya demi melaksanakan sholat jama’ah. Mereka bukanlah seperti generasi masa kini, jika datang malam pengantin sedang mereka berbulan madu bersama istrinya, maka mereka tak rela bangun melaksanakan sholat Ashar atau sholat shubuh demi menyenangkan dan memuaskan syahwat belaka. Mereka lupa bahwa istri hanyalah perhiasan belaka dan penolong dalam ketaatan, bukan penolong dalam kedurhakaan kepada Allah. Mereka lupa akan hari kiamat saat tegaknya semua manusia dari Adam sampai manusia terakhir di hadapan Allah Al-Hakim (Sang Maha Bijaksana) untuk menghukumi, dan memutuskan segala tindak-tanduk makhluknya ketika di atas permukaan bumi ini. Ketika itulah Allah akan menampakkan segala yang tersembunyi sampai seorang yang bersembunyi dan berselimut bersama keluarganya akan dinampakkan oleh-Nya demi menanyakan segala perbuatannya.
Perkara ini betul-betul dipahami oleh para
salafush sholeh. Hal itu nampak pada diri dan perbuatan mereka. Sekarang
perhatikan, dulu ada seorang salaf bernama Simak bin Harb
-rahimahullah- berkata,
“Al-Harits bin Hassan –radhiyallahu anhu-
telah menikah -dan beliau memiliki persahabatan (dengan Nabi –Shollallhu
alaihi wasallam-) Dahulu seorang laki-laki jika telah menikah, maka ia
tinggal (di rumahnya) dalam beberapa hari. Lalu beliau ditanya, “Apakah
engkau akan keluar (pergi sholat shubuh), padahal engkau berbulan madu
dengan istrimu di malam ini?” Maka beliau menjawab: “Demi Allah, Jika
ada seorang istri yang menghalangi aku dari sholat shubuh bersama
jama’ah, maka ia sungguh istri yang buruk”. [HR. Ath-Thobroniy dalam
Al-Kabir (3324)]
Demikian nilai sholat jama’ah di sisi para
salaf. Mereka rela meninggalkan pekerjaan, kesibukan, dan istri demi
menghadap Allah -Azza wa Jalla-, dan menundukkan dahi-dahi mereka
sebagai lambang kesyukuran mereka atas keimanan yang Allah -Ta’ala-
anugrahkan kepada mereka. Mereka tidaklah memandang dunia ini sebagai
tempat tinggal mereka. Tapi mereka memandangnya sebagai ladang untuk
memperbanyak bekal pahala menuju Allah Robbul Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar