Minggu, 29 Juli 2012

Siapakah Manusia?


“Sebab itu diri manusia merupakan pusat pertarungan. Apa bukan siapa, dan siapa bukan apa. Apakah arti apa dalam siapa itu? Bagaimanakah siapa tetap siapa dalam apa? Apakah apa “apa-siapa” dan “siapa-apa “itu? Jangan dikira bahwa dalam diri manusia tidak ada apa-apa!”
Drijarkara,SJ – Basis Februari 1954
1. Pendahuluan
“Jangan dikira bahwa diri manusia tidak ada apa-apa!”. Begitulah seruan Prof.Dr.N.Driyarkara, SJ terkait permenungannya mengenai pribadi manusia yang tertuang dalam Basis Keluaran Februari 1954. Apa sebenarnya yang mau dikatakan Driyarkara mengenai pribadi manusia? Ia menyebut manusia sebagai kesatuan yang tunggal (Bhinneka Tunggal), atau lebih tepatnya dwitunggal antara badan (materia) dan Roh. Kesatuan dari materia dan Roh mengandung paradoksal, namun merupakan hakekat diri manusia. Hakekat manusia sendiri secara keseluruhan tidak hanya menunjuk pada dwitunggal tersebut tetapi juga,pada kondisinya yang berada ditengah dunia ini. Kondisinya yang bukan merupakan pengada yang sendirian di dunia ini, hanya dapat diketahui berkat hubungannya dan dalam hubungannya dengan tiga hal, yakni: Hubungannya manusia dengan dunia jasmani (hubungan ke bawah); 2)sesamanya (hubungan, horizontal); dan Tuhan (Hubungan ke atas, transendental). Ketiganya hanya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Manusia sebagai kesatuan antara materia dan Roh ini mengandung suatu pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk yang paradoksal. Manusia adalah Roh yang membadan, maka sebagi Roh, ia dimengerti sebagai pribadi. Pribadi artinya berdiri sendiri. Namun, sebagai manusia, ia tidak dari diri sendiri. Inilah sifat paradoksal manusia yang pertama. Sementara sifat yang paradoksal kedua yang mengikuti: manusia sebagai pribadi yang “bersemayam” dalam dirinya sendiri merupakan makhluk sempurna. Namun, disamping kesempurnaannya itu, ia sekaligus tidak sempurna.
Karya tulis ini akan berbicara mengenai keseluruhan dimensi manusia di atas, dengan bertolak pada tulisan Driyarkara sendiri “Apa dan Siapa – Percikan Permenungan atas Pribadi Manusia” yang sebelumnya ditulis beliau dalam majalah Basis Edisi 1954, sebagai sumber utama. Tulisan ini akan dibagi menjadi lima bagian yakni; 1)Pendahuluan, berisi garis besar permenungan filofosis Driyarkara mengenai pribadi manusia; 2) Kesatuan Tubuh dan Roh, yang akan menjelaskan secara rinci bagaimana kesatuan antara prinsip materi (apa) dan prinsip Roh (siapa); 3) Hubungan Manusia dengan “Yang Lain”, yang akan memberikan penjelasan mengenai “dunia interaksi” manusia sebagai suatu kesatuan, yakni, interaksi manusia dengan dunia jasmani, interaksi manusia dengan sesamanya, dan interaksi manusia dengan Tuhan; 4)Konsekuensi Manusia sebagai Roh yang Membadan, yang menunjuk pada pemahaman  Driyarkara mengenai segala hal paradoksal yang terjadi dalam dan melalui manusia sebagai roh yang membadan. Adapun berbagai hal paradoksal meliputi, manusia sebagai makhluk yang sempurna sekaligus tidak sempurna,serta manusia sebagai makhluk otonom sekaligus tergantung; 5)Kesimpulan, dimana penulis mencoba untuk menyimpulkan pandangan Driyarkara mengenai manusia.
2. Kesatuan Tubuh dan Roh
(Si)apakah manusia itu?. Pertanyaan ini tidak akan pernah sampai pada jawaban yang memadai. Karena manusia  sudah merupakan suatu problem bagi dirinya sendiri, sebuah rahasia besar dan suci, menurut Driyarkara. Manusia sebagai rahasia besar tidak akan pernah dapat dijangkau pengertiannya sampai ketitik penghabisan.
Meskipun demikian, rahasianya tidaklah menakutkan melainkan justru semakin menarik sehingga mengajak kita untuk terus menyelidikinya. Permenungan filosofis mengenai manusia adalah salah satu cara menyelidiki rahasia  yang tak terjangkau itu.
Secara filosofis, manusia dilihat dari adanya di dalam dunia. “Di dalam dunia” artinya manusia merupakan materi yang berada dalam dunia. Dia tidak mungkin berada dalam dunia jika tidak memiliki jasmani atau materi. Untuk hal ini, Driyarkara memberikan pernyataannya: “Bukankah ia mempunyai aspek-aspek yang mirip dengan barang-barang lainnya? Bukankah ia barang badani dan karenanya mempunyai sifat-sifat barang-barang badani juga?”. Dengan demikian, manusia merupakan makhluk yang berbadan (ber-materi). Pertanyaan yang muncul, apakah manusia hanya berupa benda jasmani saja? Bagaimana lantas membedakan manusia dengan tumbuhan, hewan serta benda ciptaan manusia?.
Manusia bukan hanya berupa “apa” (apa menunjuk kepada prinsip materi manusia) melainkan juga “siapa” (merujuk pada prinsip Roh, pada pribadinya). Dengan mudah kita dapat melihat hal tersebut dari cara manusia membedakan dirinya dengan benda lainnya. Ketika mempertanyakan pohon, kita akan berkata demikian:”apakah pohon itu?”. Namun, tidak demikian ketika kita mempertanyakan diri kita sebagai manusia. Kita akan memakai kata “siapa” untuk mempertanyakan manusia:”siapakah manusia?”.
Mengapa kita memakai “siapa” untuk menunjuk pada pengertian mengenai manusia?. Jawabannya akan kita dapati jika kita melihat dan merefleksikan bagaimana cara berada manusia di dalam dunia. Cara berada manusia di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda lainnya. Sebagai “apa” memang ia tidak ditentukan oleh dirinya sendiri. Namun, sebagai “siapa”, ia adalah pribadi yang “memiliki” dirinya sendiri. Dapatlah dikatakan bahwa manusia “bersemayam di dalam dirinya sendiri”. Artinya, tidak hanya “berada” melainkan juga “berkuasa”. Ia berkuasa dan memiliki diri sendiri secara formal melalui pengertian dan kemauannya (karena cipta dan karsanya). Dengan adanya pengertian dan kemauannya, manusia tidak lagi hanya dimengerti sebagai “apa” saja melainkan “siapa”. Ia merupakan kesatuan keduanya: kesatuan antara materi dan Roh, yang sebenarnya merupakan dua prinsip yang saling berlawanan. Bagaimana menjelaskan kesatuan ini?
Manusia pertama-tama harus dimengerti sebagai Roh. Namun tidak bisa disebut sebagai roh melulu, karena ia membadan, ia adalah roh yang bermateria. Dalam bentuk materialnya ia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:1) ia adalah makhluk yang terikat dalam tempat dan waktu;2)ia merupakan “individu” dalam suatu jenis (soort);3)ia merupakan makluk yang tumbuh dan merasa. Sementara dalam diri yang material itu, manusia benar-benar merupakan roh. Sebagai roh, dia mengatasi (melebihi) kejasmaniannya. Sebab itu manusia sebagai “siapa” melebihi diri sendiri sebagai “apa”. Roh memungkinkan manusia untuk mengambil jarak, merefleksikan hidup serta benda-benda yang ada bersama dengannya di dalam dunia. Dengan kata lain, roh memungkinkan kesadaran manusia akan dirinya serta apa yang ada diluar dirinya yang terealisasikan lewat berbagai cipta dan karsanya.  Pemaparan diatas, dengan sangat jelas menggariskan batas cara berada manusia dalam dunia dengan cara berada benda-benda lainnya. Benda-benda lainnya tetap asing dalam dirinya sendiri, karena tidak dapat “bersemayam” dalam diri sendiri, karena tidak dapat memiliki diri sendiri.
3. Hubungan Manusia dengan Yang Lain
“Yang lain” menunjuk kepada tiga subjek yakni; alam, sesama, dan Tuhan. “Yang lain” merupakan salah satu prinsip terpenting yang memungkinkan adanya pengertian mengenai seorang manusia. Driyarkara sendiri mengakuinya lewat pernyataan: “Hidup kita di dunia ini tak dapat dipikirkan kecuali dalam dan dengan ketunggalan dengan barang-barang lainnya!”. Apa maksud pernyataan tersebut?. Penulis melihat bahwa Driyarkara ingin menempatkan situasi dialektika sebagai bentuk relasi antara manusia dengan “yang lain”. Aku (manusia) hanya bisa dimengerti sebagai manusia jika “yang lain” ada, begitupun sebaliknya, “yang lain” tidak akan dimengerti sebagai “yang lain” jika tidak ada aku (manusia).
“Ingatlah apa yang telah kita kemukakan tentang “bersemayamnya” manusia dalam diri sendiri. Dengan ini nampaklah bahwa dia adalah makhluk yang tertinggi di dunia ini. Dialah yang meninggikan derajat barang-barang lainnya. Sebab dengan hidupnya di dunia manusia memberikan keluhurannya kepada barang-barang lainnya”
Pernyataan Driyarkara di atas setidaknya menunjukkan karakteristik dialektika antara manusia dengan “yang lain” (yang lain di atas merujuk pada benda-benda jasmani/alam). Hakekat manusia sebagai roh yang membadan, atau sebagai “yang bersemayam” dalam dirinya sendiri hanya dapat dimengerti saat manusia memberikan keluhuran kepada benda jasmani/alam. Ia disebut sebagai makluk yang tertinggi di dunia karena ia dapat meninggikan derajat barang-barang lain. Dengan kata lain, ia lewat hakekatnya sebagai makhluk yang besemayam (berkuasa) dan tertinggi di dunia hanya dapat dikenali lewat transendensi dirinya (lewat pemberian makna/keluhuran/nilai terhadap benda alam). Sebaliknya, benda-benda jasmani/alam tidak memiliki artinya tanpa pemberian dari manusia. Pemberian makna/keluhuran bagi benda-benda jasmani/alam sebenarnya dilakukan manusia sebagai salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan diri manusia bersangkutan. Benda jasmani/alam dipandang sebagai alat untuk merealisasikan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka mencapai kesempurnaan.
Sementara untuk jenis relasinya yang kedua, yakni relasi manusia dengan manusia lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Manusia adalah makhluk yang otonom, artinya dia merupakan kesatuan yang berdiri sendiri. Namun, setiap manusia hanyalah seorang manusia (individu) saja. Artinya, dia hanya satu realisasi jenis manusia. Tiap-tiap individu adalah satu kodrat dalam suatu kodrat. Bisa dikatakan dengan lebih sederhana, manusia individu hanyalah satu bagian dari keseluruhan umat manusia. Ia mewakili jenisnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia hadir di dalam dunia sebagai individu utuh namun secara jenis, ia hanya satu dari keseluruhan manusia dalam dunia. Maka, relasi dengan individu manusia lainnya juga tidak terelakkan. Menggambarkan hubungan relasi manusia individu dengan sesamanya, Driyarkara menulis:
”Hubungan kita dengan sesama manusia kita alami dan kita rumuskan  sebagai hubungan antara Engkau dan Aku sedangkan hubungan kita dengan binatang-binatang misalnya, tidak mungkin dicetuskan dengan Engkau-Aku. Perbedaan ini antara lain disebabkan karena hubungan kita dengan binatang-binatang dan benda-benda tidak kita rasakan sebagai terikat oleh suatu kewajiban atau rasa hormat”
Di sini jelas terdapat perbedaan antara cara manusia berelasi dengan alam, dan cara
manusia berelasi dengan sesama manusia. Relasi manusia dengan benda jasmani/alam adalah relasi yang diharapkan menjadi salah satu jalan manusia untuk mencapai tujuan tertentu (memenuhi kebutuhan agar dapat mencapai kesempurnaan). Mengenai hal itu, manusia kemudian memberikan makna/keluhuran bagi benda-benda jasmani/alam. Pemberian makna/keluhuran bagi benda jasmani/alam ini disebut sebagai kebudayaan bagi Driyarkara Sementara relasi manusia dengan sesamanya, menunjukkan suatu sikap hormat, dimana manusia dianggap sebagai manusia dan bukanlah alat untuk mencapai tujuan dari manusia lainnya. Maka, mengikuti Martin Buber, ia menyebutnya sebagai relasi Engkau-Aku. Persamaan antara kedua relasi ini tertuang dari kondisi relasi yang berdialektika. Relasi Engkau-Aku memungkinkan “Aku” memahami diriku sebagai “Aku” dan bukan “Engkau”. Begitu juga sebaliknya, keberadaanku memungkinkan “Engkau” memahami dirimu sebagai “Engkau” yang berbeda daripadaku namun dengan derajat dan kodrat yang sama.
Apakah hanya dua relasi di atas saja yang menggambarkan realitas manusia? Masih mengikuti Buber, Driyarkara menunjuk pada satu realitas personal yang mendasari segala realitas relasi lainnya yakni, Tuhan. Tuhan merupakan sumber rahasia manusia yang sedalam-dalamnya. Sudah dikatakan sebelumnya, bahwa manusia adalah roh yang membadan. Relasi dengan benda alam dan sesama hanya dimungkinkan dengan dan melalui adanya badan (materi) lantas bagaimana dengan pengertian roh secara menyeluruh? Bagi Driyarkara, untuk dapat mengerti roh dengan sempurna, kita harus memahami roh itu sendiri dalam hubungan dengan sumber Adanya, yakni Tuhan itu sendiri. Hubungan dengan Tuhan merupakan dasar dari hubungan manusia dengan benda jasmani dan sesama. Hubungan dengan benda jasmani dan sesamanya mendapat kesempurnaan dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
4. Konsekuensi Manusia sebagai Roh yang Membadan
Setelah pemaparan di atas mengenai manusia sebagai roh yang membadan serta seluk
beluk relasinya, kita akan melangkah maju ke dalam konsekuensi manusia sebagai roh yang membadan. Adalah lebih baik, jika kita memulai dengan pembagian dua dimensi manusia yakni Roh dan badan. Berbicara mengenai roh, maka kita berbicara mengenai kesempurnaan diri manusia yang berdiri sendiri, “yang bersemayam dalam diri sendiri” dan yang berdaulat atas dirinya sendiri. Sementara berbicara mengenai dimensi material manusia, kita mau tidak mau harus menyinggung soal keterbatasan manusia. manusia sebagai makhluk berbadan menerima “paksaan” juga. Artinya, dia ditentukan oleh hukum-hukum biologik. Selain itu, ia hanya merupakan satu individu dari keseluruhan jenisnya. Artinya dia tidak sempurna. Dari perbedaan di atas dan dari penjelasan pada pembahasan sebelumnya kita dapat melihat beberapa konsekuensi yang mengikuti keberadaan manusia sebagai roh sekaligus badan ini.
Pertama, manusia adalah makhluk yang berdiri sendiri tapi tidak sempurna dan tidak dari diri sendiri. Ia tidak sempurna karena manusia tidak dapat dipikirkan kecuali sebagai suatu bagian dalam keseluruhan, sebagai suatu momen dalam evolusi yang maha besar. Meskipun pada dasarnya, ia adalah makhluk yang otonom namun ia masih tidak dapat dipikirkan kecuali dalam kesatuannya dengan yang lain.
Manusia adalah roh, dan untuk itulah dia disebut Pribadi: berdiri sendiri. Namun keadaan berdiri sendiri ini bukanlah dalam dirinya sendiri melainkan suatu pemberian. Adanya diberikan terus-menerus, tiap-tiap detik. Diberikan oleh SUMBER segala ada,  yang dengan mutlak berada dari diri sendiri, yaitu Tuhan. Jadi, meskipun dia berdiri sendiri, ia bukanlah makhluk yang berada dari dirinya sendiri.
Kedua, manusia adalah sempurna sekaligus tidak sempurna. Ia sempurna karena “bersemayam dalam diri sendiri”. Bersemayam dalam diri sendiri artinya berkuasa atas diri sendiri, menentukkan diri sendiri, memastikan diri sendiri, memastikan perbuatannya dengan merdeka, menentukkan nasibnya sendiri dengan memilihnya sendiri, bebas merdeka dari paksaan dan tekanan. Sementara ia menjadi tidak sempurna karena tergantung pada yang lain, yakni dunia material, sesama, dan Tuhan. Menurut Driyarkara problematika mengenai pencampuran kesempurnaan dan ketidaksempurnaan ini digambarkan sebagai air dingin yang sedang menjadi panas, atau barang cair yang sedang menjadi beku, akan tetapi masih ditengah jalan! Manusia sebagai pribadi adalah sempurna, akan tetapi juga masih memiliki kemungkinan untuk menjadi sempurna. Kesempurnaan ini sangat terkait erat dengan pengolahan pribadi manusia sebagai yang berdaulat. Manusia dapat mempergunakan kedaulatan untuk mencapai kesempurnaan tetapi dapat juga memakainya untuk menjerumuskan diri ke dalam kejahatan. Dengan demikian, manusia adalah tesis yang dapat menjadi antitesisnya!
5. Kesimpulan
Melihat pemaparan Driyarkara mengenai manusia, kita dapat mengambil kesimpulan ia melihat manusia sebagai suatu kesatuan utuh antara badan dan roh dengan segala konsekuensi yang mengikuti pandangannya tersebut. Yang menarik dari pemaparannya, Driyarkara jelas memperhatikan kedua dimensi manusia baik badan maupun roh tanpa mengucilkan konsekuensi yang mungkin muncul berkenaan dengan keduanya. Manusia sebagai badannya dilihatnya sebagai yang memungkinkan manusia untuk ada di dalam dunia, berhubungan dengan alam dan sesama. Namun, karena ia adalah bagian dari dunia materi maka konsekuensinya, manusia terikat dengan hukum-hukum materi  termasuk dorongan-dorongan alamiah badan(sama halnya dengan hewan dan tumbuhan). Dengan Roh, manusia dapat melampaui hukum serta dorongan alamiah nya sebagai makhluk materi. Roh memungkinkan manusia berdaulat atas dirinya sendiri dan mengusahakan kesempurnaan pribadinya. Usaha untuk mencapai kesempurnaan sebagai pribadi, didapat manusia dengan melakukan apa yang baik, yang susila. Atau yang disebut Driyarkara sebagai yang wajib. Dan usaha ini hanya dapat dimungkinkan jika manusia tidak hanya dimengerti sebagai materi melainkan sebagai roh yang bermateri.
Demikianlah sekilas mengenai pemikiran Driyarkara mengenai manusia. Memang diakui penulis bahwa pemikiran Driyarkara sangat kaya makna dan pengertian sehingga mencoba memahami pemikirannya tidak dapat dilakukan hanya dengan menuliskan kembali apa yang sebelumnya pernah ditulisnya. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi persoalan utama. Penulis setuju dengan Driyarkara saat mengatakan bahwa “memahami kehidupan manusia secara filosofis bukanlah untuk mengupas rahasia manusia dengan habis-habisan, sehingga tak ada Rahasis lagi. Tujuan kita hanyalah agar supaya kita lebih insyaf akan keagungan manusia, justru karena dia tetap Rahasia bagi diri sendiri”. Tulisan ini hanyalah salah satu bagian dari upaya yang ingin dilakukan Driyarkara tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar