“Sebab itu diri manusia merupakan
pusat pertarungan. Apa bukan siapa, dan siapa bukan apa. Apakah arti apa
dalam siapa itu? Bagaimanakah siapa tetap siapa dalam apa? Apakah apa
“apa-siapa” dan “siapa-apa “itu? Jangan dikira bahwa dalam diri manusia
tidak ada apa-apa!”
Drijarkara,SJ – Basis Februari 1954
1. Pendahuluan
“Jangan dikira bahwa diri manusia tidak ada apa-apa!”. Begitulah seruan Prof.Dr.N.Driyarkara, SJ terkait permenungannya mengenai pribadi manusia yang tertuang dalam Basis Keluaran
Februari 1954. Apa sebenarnya yang mau dikatakan Driyarkara mengenai
pribadi manusia? Ia menyebut manusia sebagai kesatuan yang tunggal (Bhinneka Tunggal), atau lebih tepatnya dwitunggal
antara badan (materia) dan Roh. Kesatuan dari materia dan Roh
mengandung paradoksal, namun merupakan hakekat diri manusia. Hakekat
manusia sendiri secara keseluruhan tidak hanya menunjuk pada dwitunggal
tersebut tetapi juga,pada kondisinya yang berada ditengah dunia ini.
Kondisinya yang bukan merupakan pengada yang sendirian di dunia ini,
hanya dapat diketahui berkat hubungannya dan dalam hubungannya dengan
tiga hal, yakni: Hubungannya manusia dengan dunia jasmani (hubungan ke
bawah); 2)sesamanya (hubungan, horizontal); dan Tuhan (Hubungan ke atas,
transendental). Ketiganya hanya bisa dibedakan tetapi tidak bisa
dipisahkan.
Manusia sebagai kesatuan antara materia dan
Roh ini mengandung suatu pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk yang
paradoksal. Manusia adalah Roh yang membadan, maka sebagi Roh, ia
dimengerti sebagai pribadi. Pribadi artinya berdiri sendiri.
Namun, sebagai manusia, ia tidak dari diri sendiri. Inilah sifat
paradoksal manusia yang pertama. Sementara sifat yang paradoksal kedua
yang mengikuti: manusia sebagai pribadi yang “bersemayam” dalam dirinya
sendiri merupakan makhluk sempurna. Namun, disamping kesempurnaannya
itu, ia sekaligus tidak sempurna.
Karya tulis ini akan berbicara mengenai keseluruhan dimensi manusia di atas, dengan bertolak pada tulisan Driyarkara sendiri “Apa dan Siapa – Percikan Permenungan atas Pribadi Manusia” yang sebelumnya ditulis beliau dalam majalah Basis Edisi 1954, sebagai sumber utama. Tulisan ini akan dibagi menjadi lima bagian yakni; 1)Pendahuluan, berisi garis besar permenungan filofosis Driyarkara mengenai pribadi manusia; 2) Kesatuan Tubuh dan Roh, yang akan menjelaskan secara rinci bagaimana kesatuan antara prinsip materi (apa) dan prinsip Roh (siapa); 3) Hubungan Manusia dengan “Yang Lain”, yang
akan memberikan penjelasan mengenai “dunia interaksi” manusia sebagai
suatu kesatuan, yakni, interaksi manusia dengan dunia jasmani, interaksi
manusia dengan sesamanya, dan interaksi manusia dengan Tuhan; 4)Konsekuensi Manusia sebagai Roh yang Membadan,
yang menunjuk pada pemahaman Driyarkara mengenai segala hal paradoksal
yang terjadi dalam dan melalui manusia sebagai roh yang membadan.
Adapun berbagai hal paradoksal meliputi, manusia sebagai makhluk yang
sempurna sekaligus tidak sempurna,serta manusia sebagai makhluk otonom
sekaligus tergantung; 5)Kesimpulan, dimana penulis mencoba untuk menyimpulkan pandangan Driyarkara mengenai manusia.
2. Kesatuan Tubuh dan Roh
(Si)apakah manusia itu?. Pertanyaan ini tidak
akan pernah sampai pada jawaban yang memadai. Karena manusia sudah
merupakan suatu problem bagi dirinya sendiri, sebuah rahasia besar dan
suci, menurut Driyarkara. Manusia sebagai rahasia besar tidak akan pernah dapat dijangkau pengertiannya sampai ketitik penghabisan.
Meskipun demikian, rahasianya tidaklah
menakutkan melainkan justru semakin menarik sehingga mengajak kita untuk
terus menyelidikinya. Permenungan filosofis mengenai manusia adalah salah satu cara menyelidiki rahasia yang tak terjangkau itu.
Secara filosofis, manusia dilihat dari adanya
di dalam dunia. “Di dalam dunia” artinya manusia merupakan materi yang
berada dalam dunia. Dia tidak mungkin berada dalam dunia jika tidak
memiliki jasmani atau materi. Untuk hal ini, Driyarkara memberikan
pernyataannya: “Bukankah ia mempunyai aspek-aspek yang mirip dengan
barang-barang lainnya? Bukankah ia barang badani dan karenanya mempunyai
sifat-sifat barang-barang badani juga?”.
Dengan demikian, manusia merupakan makhluk yang berbadan (ber-materi).
Pertanyaan yang muncul, apakah manusia hanya berupa benda jasmani saja?
Bagaimana lantas membedakan manusia dengan tumbuhan, hewan serta benda
ciptaan manusia?.
Manusia bukan hanya berupa “apa” (apa
menunjuk kepada prinsip materi manusia) melainkan juga “siapa” (merujuk
pada prinsip Roh, pada pribadinya). Dengan mudah kita dapat melihat hal
tersebut dari cara manusia membedakan dirinya dengan benda lainnya.
Ketika mempertanyakan pohon, kita akan berkata demikian:”apakah pohon
itu?”. Namun, tidak demikian ketika kita mempertanyakan diri kita
sebagai manusia. Kita akan memakai kata “siapa” untuk mempertanyakan
manusia:”siapakah manusia?”.
Mengapa kita memakai “siapa” untuk menunjuk
pada pengertian mengenai manusia?. Jawabannya akan kita dapati jika kita
melihat dan merefleksikan bagaimana cara berada manusia di dalam dunia.
Cara berada manusia di dalam dunia berbeda dengan cara berada
benda-benda lainnya. Sebagai “apa” memang ia tidak ditentukan oleh
dirinya sendiri. Namun, sebagai “siapa”, ia adalah pribadi yang
“memiliki” dirinya sendiri. Dapatlah dikatakan bahwa manusia “bersemayam
di dalam dirinya sendiri”. Artinya, tidak hanya “berada” melainkan juga
“berkuasa”. Ia berkuasa dan memiliki diri sendiri secara formal melalui pengertian dan kemauannya (karena cipta dan karsanya).
Dengan adanya pengertian dan kemauannya, manusia tidak lagi hanya
dimengerti sebagai “apa” saja melainkan “siapa”. Ia merupakan kesatuan
keduanya: kesatuan antara materi dan Roh, yang sebenarnya merupakan dua
prinsip yang saling berlawanan. Bagaimana menjelaskan kesatuan ini?
Manusia pertama-tama harus dimengerti sebagai
Roh. Namun tidak bisa disebut sebagai roh melulu, karena ia membadan,
ia adalah roh yang bermateria. Dalam bentuk materialnya ia memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:1) ia adalah makhluk yang terikat dalam tempat
dan waktu;2)ia merupakan “individu” dalam suatu jenis (soort);3)ia
merupakan makluk yang tumbuh dan merasa.
Sementara dalam diri yang material itu, manusia benar-benar merupakan
roh. Sebagai roh, dia mengatasi (melebihi) kejasmaniannya. Sebab itu
manusia sebagai “siapa” melebihi diri sendiri sebagai “apa”.
Roh memungkinkan manusia untuk mengambil jarak, merefleksikan hidup
serta benda-benda yang ada bersama dengannya di dalam dunia. Dengan kata
lain, roh memungkinkan kesadaran manusia akan dirinya serta apa yang
ada diluar dirinya yang terealisasikan lewat berbagai cipta dan
karsanya. Pemaparan diatas, dengan sangat jelas menggariskan batas cara
berada manusia dalam dunia dengan cara berada benda-benda lainnya.
Benda-benda lainnya tetap asing dalam dirinya sendiri, karena tidak
dapat “bersemayam” dalam diri sendiri, karena tidak dapat memiliki diri
sendiri.
“Yang lain” menunjuk kepada tiga subjek
yakni; alam, sesama, dan Tuhan. “Yang lain” merupakan salah satu prinsip
terpenting yang memungkinkan adanya pengertian mengenai seorang
manusia. Driyarkara sendiri mengakuinya lewat pernyataan: “Hidup kita di dunia ini tak dapat dipikirkan kecuali dalam dan dengan ketunggalan dengan barang-barang lainnya!”.
Apa maksud pernyataan tersebut?. Penulis melihat bahwa Driyarkara ingin
menempatkan situasi dialektika sebagai bentuk relasi antara manusia
dengan “yang lain”. Aku (manusia) hanya bisa dimengerti sebagai manusia
jika “yang lain” ada, begitupun sebaliknya, “yang lain” tidak akan
dimengerti sebagai “yang lain” jika tidak ada aku (manusia).
“Ingatlah apa yang telah kita kemukakan
tentang “bersemayamnya” manusia dalam diri sendiri. Dengan ini nampaklah
bahwa dia adalah makhluk yang tertinggi di dunia ini. Dialah yang
meninggikan derajat barang-barang lainnya. Sebab dengan hidupnya di
dunia manusia memberikan keluhurannya kepada barang-barang lainnya”
Pernyataan Driyarkara di atas setidaknya
menunjukkan karakteristik dialektika antara manusia dengan “yang lain”
(yang lain di atas merujuk pada benda-benda jasmani/alam). Hakekat
manusia sebagai roh yang membadan, atau sebagai “yang bersemayam” dalam
dirinya sendiri hanya dapat dimengerti saat manusia memberikan keluhuran
kepada benda jasmani/alam. Ia disebut sebagai makluk yang tertinggi di
dunia karena ia dapat meninggikan derajat barang-barang lain. Dengan
kata lain, ia lewat hakekatnya sebagai makhluk yang besemayam (berkuasa)
dan tertinggi di dunia hanya dapat dikenali lewat transendensi dirinya
(lewat pemberian makna/keluhuran/nilai terhadap benda alam). Sebaliknya,
benda-benda jasmani/alam tidak memiliki artinya tanpa pemberian dari
manusia. Pemberian makna/keluhuran bagi benda-benda jasmani/alam
sebenarnya dilakukan manusia sebagai salah satu cara untuk mencapai
kesempurnaan diri manusia bersangkutan. Benda jasmani/alam dipandang
sebagai alat untuk merealisasikan pemenuhan kebutuhan hidup manusia
dalam rangka mencapai kesempurnaan.
Sementara untuk jenis relasinya yang kedua,
yakni relasi manusia dengan manusia lainnya dapat dijelaskan sebagai
berikut. Manusia adalah makhluk yang otonom, artinya dia merupakan
kesatuan yang berdiri sendiri. Namun, setiap manusia hanyalah seorang
manusia (individu) saja. Artinya, dia hanya satu realisasi jenis
manusia. Tiap-tiap individu adalah satu kodrat dalam suatu kodrat.
Bisa dikatakan dengan lebih sederhana, manusia individu hanyalah satu
bagian dari keseluruhan umat manusia. Ia mewakili jenisnya. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia hadir di dalam dunia sebagai individu utuh
namun secara jenis, ia hanya satu dari keseluruhan manusia dalam dunia.
Maka, relasi dengan individu manusia lainnya juga tidak terelakkan.
Menggambarkan hubungan relasi manusia individu dengan sesamanya,
Driyarkara menulis:
”Hubungan kita dengan sesama manusia kita
alami dan kita rumuskan sebagai hubungan antara Engkau dan Aku
sedangkan hubungan kita dengan binatang-binatang misalnya, tidak mungkin
dicetuskan dengan Engkau-Aku. Perbedaan ini antara lain disebabkan
karena hubungan kita dengan binatang-binatang dan benda-benda tidak kita
rasakan sebagai terikat oleh suatu kewajiban atau rasa hormat”
Di sini jelas terdapat perbedaan antara cara manusia berelasi dengan alam, dan cara
manusia berelasi dengan sesama manusia.
Relasi manusia dengan benda jasmani/alam adalah relasi yang diharapkan
menjadi salah satu jalan manusia untuk mencapai tujuan tertentu
(memenuhi kebutuhan agar dapat mencapai kesempurnaan). Mengenai hal itu,
manusia kemudian memberikan makna/keluhuran bagi benda-benda
jasmani/alam. Pemberian makna/keluhuran bagi benda jasmani/alam ini
disebut sebagai kebudayaan bagi Driyarkara
Sementara relasi manusia dengan sesamanya, menunjukkan suatu sikap
hormat, dimana manusia dianggap sebagai manusia dan bukanlah alat untuk
mencapai tujuan dari manusia lainnya. Maka, mengikuti Martin Buber, ia
menyebutnya sebagai relasi Engkau-Aku. Persamaan antara kedua relasi ini
tertuang dari kondisi relasi yang berdialektika. Relasi Engkau-Aku
memungkinkan “Aku” memahami diriku sebagai “Aku” dan bukan “Engkau”.
Begitu juga sebaliknya, keberadaanku memungkinkan “Engkau” memahami
dirimu sebagai “Engkau” yang berbeda daripadaku namun dengan derajat dan
kodrat yang sama.
Apakah hanya dua relasi di atas saja yang
menggambarkan realitas manusia? Masih mengikuti Buber, Driyarkara
menunjuk pada satu realitas personal yang mendasari segala realitas
relasi lainnya yakni, Tuhan. Tuhan merupakan sumber rahasia manusia yang
sedalam-dalamnya. Sudah dikatakan sebelumnya, bahwa manusia adalah roh
yang membadan. Relasi dengan benda alam dan sesama hanya dimungkinkan
dengan dan melalui adanya badan (materi) lantas bagaimana dengan
pengertian roh secara menyeluruh? Bagi Driyarkara, untuk dapat mengerti
roh dengan sempurna, kita harus memahami roh itu sendiri dalam hubungan
dengan sumber Adanya, yakni Tuhan itu sendiri.
Hubungan dengan Tuhan merupakan dasar dari hubungan manusia dengan benda
jasmani dan sesama. Hubungan dengan benda jasmani dan sesamanya
mendapat kesempurnaan dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
4. Konsekuensi Manusia sebagai Roh yang Membadan
Setelah pemaparan di atas mengenai manusia sebagai roh yang membadan serta seluk
beluk relasinya, kita akan melangkah maju ke
dalam konsekuensi manusia sebagai roh yang membadan. Adalah lebih baik,
jika kita memulai dengan pembagian dua dimensi manusia yakni Roh dan
badan. Berbicara mengenai roh, maka kita berbicara mengenai kesempurnaan
diri manusia yang berdiri sendiri, “yang bersemayam dalam diri sendiri”
dan yang berdaulat atas dirinya sendiri. Sementara berbicara mengenai
dimensi material manusia, kita mau tidak mau harus menyinggung soal
keterbatasan manusia. manusia sebagai makhluk berbadan menerima
“paksaan” juga. Artinya, dia ditentukan oleh hukum-hukum biologik.
Selain itu, ia hanya merupakan satu individu dari keseluruhan jenisnya.
Artinya dia tidak sempurna. Dari perbedaan di atas dan dari penjelasan
pada pembahasan sebelumnya kita dapat melihat beberapa konsekuensi yang
mengikuti keberadaan manusia sebagai roh sekaligus badan ini.
Pertama, manusia adalah makhluk yang berdiri
sendiri tapi tidak sempurna dan tidak dari diri sendiri. Ia tidak
sempurna karena manusia tidak dapat dipikirkan kecuali sebagai suatu
bagian dalam keseluruhan, sebagai suatu momen dalam evolusi yang maha
besar. Meskipun pada dasarnya, ia adalah makhluk
yang otonom namun ia masih tidak dapat dipikirkan kecuali dalam
kesatuannya dengan yang lain.
Manusia adalah roh, dan untuk itulah dia
disebut Pribadi: berdiri sendiri. Namun keadaan berdiri sendiri ini
bukanlah dalam dirinya sendiri melainkan suatu pemberian. Adanya
diberikan terus-menerus, tiap-tiap detik. Diberikan oleh SUMBER segala
ada, yang dengan mutlak berada dari diri sendiri, yaitu Tuhan. Jadi, meskipun dia berdiri sendiri, ia bukanlah makhluk yang berada dari dirinya sendiri.
Kedua, manusia adalah sempurna sekaligus
tidak sempurna. Ia sempurna karena “bersemayam dalam diri sendiri”.
Bersemayam dalam diri sendiri artinya berkuasa atas diri sendiri,
menentukkan diri sendiri, memastikan diri sendiri, memastikan
perbuatannya dengan merdeka, menentukkan nasibnya sendiri dengan
memilihnya sendiri, bebas merdeka dari paksaan dan tekanan.
Sementara ia menjadi tidak sempurna karena tergantung pada yang lain,
yakni dunia material, sesama, dan Tuhan. Menurut Driyarkara problematika
mengenai pencampuran kesempurnaan dan ketidaksempurnaan ini digambarkan
sebagai air dingin yang sedang menjadi panas, atau barang cair yang
sedang menjadi beku, akan tetapi masih ditengah jalan!
Manusia sebagai pribadi adalah sempurna, akan tetapi juga masih
memiliki kemungkinan untuk menjadi sempurna. Kesempurnaan ini sangat
terkait erat dengan pengolahan pribadi manusia sebagai yang berdaulat.
Manusia dapat mempergunakan kedaulatan untuk mencapai kesempurnaan
tetapi dapat juga memakainya untuk menjerumuskan diri ke dalam
kejahatan. Dengan demikian, manusia adalah tesis yang dapat menjadi antitesisnya!
5. Kesimpulan
Melihat pemaparan Driyarkara mengenai
manusia, kita dapat mengambil kesimpulan ia melihat manusia sebagai
suatu kesatuan utuh antara badan dan roh dengan segala konsekuensi yang
mengikuti pandangannya tersebut. Yang menarik dari pemaparannya,
Driyarkara jelas memperhatikan kedua dimensi manusia baik badan maupun
roh tanpa mengucilkan konsekuensi yang mungkin muncul berkenaan dengan
keduanya. Manusia sebagai badannya dilihatnya sebagai yang memungkinkan
manusia untuk ada di dalam dunia, berhubungan dengan alam dan sesama.
Namun, karena ia adalah bagian dari dunia materi maka konsekuensinya,
manusia terikat dengan hukum-hukum materi termasuk dorongan-dorongan
alamiah badan(sama halnya dengan hewan dan tumbuhan). Dengan Roh,
manusia dapat melampaui hukum serta dorongan alamiah nya sebagai makhluk
materi. Roh memungkinkan manusia berdaulat atas dirinya sendiri dan
mengusahakan kesempurnaan pribadinya. Usaha untuk mencapai kesempurnaan
sebagai pribadi, didapat manusia dengan melakukan apa yang baik, yang
susila. Atau yang disebut Driyarkara sebagai yang wajib.
Dan usaha ini hanya dapat dimungkinkan jika manusia tidak hanya
dimengerti sebagai materi melainkan sebagai roh yang bermateri.
Demikianlah sekilas mengenai pemikiran
Driyarkara mengenai manusia. Memang diakui penulis bahwa pemikiran
Driyarkara sangat kaya makna dan pengertian sehingga mencoba memahami
pemikirannya tidak dapat dilakukan hanya dengan menuliskan kembali apa
yang sebelumnya pernah ditulisnya. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi
persoalan utama. Penulis setuju dengan Driyarkara saat mengatakan bahwa “memahami
kehidupan manusia secara filosofis bukanlah untuk mengupas rahasia
manusia dengan habis-habisan, sehingga tak ada Rahasis lagi. Tujuan kita
hanyalah agar supaya kita lebih insyaf akan keagungan manusia, justru
karena dia tetap Rahasia bagi diri sendiri”. Tulisan ini hanyalah salah satu bagian dari upaya yang ingin dilakukan Driyarkara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar